Kadang kita tidak benar-benar sudah melepaskan. Entah itu rasa, kejadian, pengkhianatan, kejatuhan, penolakan, dan lain sebagainya. Kita tau bahwa kita harusnya mengikhlaskan semuanya, tapi kita masih belum bisa melakukannya. Kita masih tidak benar-benar sudah memaknai 'hidup terus berjalan'. 

Ya, hidup memang terus berjalan normal di luar sana, tapi mental, hati, dan pikiran kita bisa jadi masih hancur-hancuran. Masih ada luka, kenangan, atau hal-hal apapun yang mengganggu pikiran. Yang membuat kita tidak bisa tidur dan gak enak makan. Yang membuat kita ingin menangisinya semalaman. Dan entah berapa lama kita terus bertanya, kenapa lukanya berefek sedemikian mengerikan? 

Kita hanya sudah mulai belajar menerima kalau luka itu akan selalu ada bersama kita. Menjadi bagian dari diri kita. Menjalani hidup dengan luka dan kecewa yang kita bawa selamanya. Ya, 'menerima'. Karena memang kalau sudah terlanjur terjadi, memang sudah tidak bisa diapa-apakan lagi kan ya? 

Daripada terus meratapinya, lebih baik dijadikan bagian kelam dari masa lalu kita. Semua orang juga punya. Kita itu sudah hancur-hancuran, sudah nangis-nangisan, sudah kayak orang gila berusaha seolah tidak terjadi apa-apa, mungkin kerjaan, sekolah atau usaha juga jatuh karena pikiran kita entah berapa lama tidak normal setelah mengalami peristiwa buruknya. Sudah sehancur sebegitunya, masak kita selamanya seperti itu juga. Enak saja. Setidaknya kita harus punya akhir yang bahagia. 

Kita harus mulai belajar tersenyum meski masih selalu terpikirkan lukanya. Mungkin trauma juga. Kita harus mulai belajar membuat lelucon dan tertawa meski masih juga berpikir kenapa hal buruk itu terjadi pada kita atau kenapa mereka sebegitu teganya. Belajar bahwa ya sudah mau digimanain lagi memang juga gak bisa diapa-apakan lagi. Mau balas dendam juga cuma membalas, tapi gak bisa mengurangi luka atau kecewanya. Daripada sibuk terus memikirkannya, lebih baik berusaha bangun lagi lebih dari sebelumnya. Ibaratnya sudah dapat susahnya, harus dapat hal baiknya. 

Kita sudah harus mulai beradaptasi dengan keadaan dan setiap peristiwa. Pelan-pelan pun gak papa. Menyesuaikan apa yang kita punya dan kita bisa. Kita juga harus sudah menyadari kalau hidup harus berjalan meski pikiran kita sedang dalam masa buruk-buruknya. Kita harus sudah memahami bahwa kita belum mencapai halaman terakhir hidup kita. Siapa tau di halaman terakhirnya kita bahagia se bahagia-bahagianya. Menertawakan yang dulu terjadi dan kembali menangisinya. Bedanya yang kali ini, menangis karena bangga bisa melewati semuanya. 

Kita memang harus berjalan lagi seperti biasa. Bukan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Tetap teringat kadang-kadang pun gak apa-apa. Namanya juga manusia, tidak mungkin lupa. Tapi setidaknya berjalan dengan keyakinan mutlak bahwa kita akan bisa melaluinya. Tidak harus tergesa-gesa atau grusa-grusu. Pelan juga gak ada masalahnya. Menangisnya berkurang lama-lama, pikiran buruknya demikian juga. Tidak akan hilang, tapi sudah bisa fokus ke yang di depan kita dan membahagiakan kita. Lalu semua akan kembali benar-benar baik-baik saja. Semoga. 

Lalu nanti, orang yang tahu apa yang sudah kita jalani mungkin akan mengagumi kekuatan kita. Orang yang tidak tau, akan melihat betapa menyenangkan pribadi kita. Kita berubah karena keadaan, tapi kita yang memutuskan ke arah lebih baik tentu saja. 

Kita sebenarnya hanya beradaptasi dengan yang terjadi. Berharap agar kejadian buruk yang bisa melukai tidak terjadi lagi. Setiap langkah dan keputusan mulai berhati-hati. 

Lalu... 

Berbahagia... kembali.




Read More ...

2 comments

 Hai. 

Aku tau kita sudah lama tidak berbicara lagi atau saling menemui. Pilihan kita bersama, tidak apa. Sesuatu terjadi dan harus kita maklumi yang terlanjur terjadi. 

Apa kamu baik-baik saja? Masih kadang tiba-tiba kulitmu membiru meski tidak terantuk apa-apa lalu sembuh sendiri juga? Masih suka bakso yang jauh dari rumahmu itu? Masih suka main game catur online sama orang-orang di seluruh dunia? Masih suka ngasih kulit ayammu sama orang yang kamu suka? Masih suka bikin orang yang kamu nyaman bersama mereka tertawa? Tapi juga masih cool bersama orang yang memang tidak terlalu dekat denganmu? 

Masih tidak bisa mengatakan tidak buat orang yang minta bantuan juga ya? Atau sekarang sudah bisa? Masih suka minum dari atas pegangan mug karena itu tempat yang tak pernah disentuh pelanggan lainnya? Kalau makan masih dimulai dari yang tidak kamu suka dulu, lalu yang paling kamu suka selalu sisa banyak dan kamu makan terakhir gak? 

Kopi hitammu masih suka dari panas yang tidak mendidih dengan satu setengah sendok gula saja? Kalau vanila late juga masih suka? Masih minum teh merek tong jhi atau sudah mulai rutin teh ala angkringan Solo yang dulu selalu kamu coba resepnya? Sekarang sudah ketemu yang pas sesuai selera? 

Kita dulu menyenangkan ya? Aku sampai hapal semua kesukaanmu, pun juga kamu. Kita sampai sering bercanda kalau kita itu mungkin punya kemampuan super yang tidak pernah kita tau. 

Ingat gak, kalau aku lagi di mana, cerita marah-marah di chat tentang kasir, teman kerja, macet, dan lain sebagainya? Kamu akan mengirimkan chat, meme, atau video lucu. Sederhana. Tapi aku tau kamu berusaha agar moodku kembali dan bisa tertawa. 

Oya, kamu masih tidak suka begadang? Hahaha. Aku inget kalau kita telponan, kamu selalu ketiduran. Aku pengen marah, tapi juga kasihan karena kamu selalu bangun jam 3 atau 4 seperti sudah kebiasaan. 

Masih alergi kutu kucing? Yang gatalnya bisa berminggu-minggu dan bekasnya belum ilang sampai tahunan? Setiap ingat itu aku selalu kasihan kamu. Tapi ya kucing liar kan selalu banyak, dan gak bisa menghindar. 

Kamu jangan terus-terusan gak enakan sama orang ya. Takut dimanfaatkan. Jangan suka terus berusaha membuat orang lain bahagia. Kebahagiaanmu sendiri jangan lupa. Kurangin ngopinya juga, ingat lambungmu pas kebanyakan ngopi kayak gimana. 

Tapi kamu apa kabar? Baik-baik saja? Tidak banyak cerita yang bisa kubaca karena kamu masih seperti dulu, jarang upload sosial media tentangmu. Kan menjengkelkan ya? Pengen tau tentang kamu jadi gak bisa. Sengaja ya? :) 

Apa kabar mama papa? Adikmu juga. Sehat semua kan? Semoga. 

Ya sudah ya. Semoga kamu baik-baik saja. Bahagia jangan lupa. Sehat juga. 


Hai. Kalau kamu membaca ini (siapa tau kamu sepertiku, mencari tau sosial mediaku), 

Aku tidak tau perasaanmu. Tapi kalau aku, aku paling kangen kamu.






Read More ...

3 comments

Aku kangen kamu, kadang-kadang. Cukup boncengan berdua, entah ke Parangtritis atau Prambanan. Menikmati gak hanya tujuannya tapi juga perjalanannya. Mungkin aku menikmati itu karena teman perjalanannya adalah kamu, entah kalau lainnya. Kangen suasananya, naik motornya, perjalanannya, dan .... kamu tentu saja.

Aku ingat kamu; tidak sering, tapi bisa tiba-tiba ingat saja. Bisa karena lagu, kopi yang sama, tempat dulu kita pernah ke sana, atau ketika ada wangi parfum yang sama. Lucunya, aku kadang bisa ingat detail percakapan kita atau yang kamu pakai saat itu baju warna apa. Kadang aku heran dengan daya ingatku tentang kamu, yang bahkan bawa dompet atau hp pun aku sering lupa. Aku tidak tahu itu karena kenanganku atau ... karena ... cinta.

Aku tahu kamu. Mungkin segalanya. Warna apa yang kamu suka, makanan dan minuman apa, caramu berpakaian bagaimana, lagu apa, sampai cara kamu menggesek bawah hidungmu dengan dua jarimu entah karena gatal atau memang karena hal biasa ketika kamu malu dan bingung mau mengatakan apa. See? I still remember you perfectly.

Kamu juga tahu aku. Entah apa juga segalanya. Kamu tahu makanan kesukaanku, apa yang harus dilakukan kalau aku sedang marah, sampai hafal kalau aku mengetukkan jari-jariku ke meja berarti ada yang sedang kupikirkan di kepala.

Kita dulu sedekat itu ya?

Tapi kamu tidak bisa tiba-tiba datang, setelah lama aku kamu tinggalkan. Tidak bisa setahun tidak memberi kabar, lalu tiba-tiba bilang menyesal. Tidak bisa tiba-tiba pergi saat aku paling mencintai, dan tanpa aba-aba datang untuk memintai dicintai lagi.

Kamu pikir aku ini apa? Patung yang bisa dibuang dan diambil begitu saja? Kontrakan yang bisa ditinggali dan pergi kalau ada rumah yang lebih besar lainnya?

Kamu pikir cinta itu apa? Akan tetap sama dan ada kalau ditinggal lama? Akan tidak berubah meski sudah diberi luka?

Jangan egois dengan inginmu, lupa dengan bahagiaku. Kamu bersamaku, pergi, lalu ingin kembali, semua inginmu. Kamu tidak peduli waktu itu aku sedang sayang-sayangnya, dan sekarang sedang benci-bencinya.

Ah lupakan.

Aku sudah bahagia sekarang. Aku tidak bisa menunggu lama. Jadi aku memutuskan kalau aku layak bahagia. Tanpamu pun tidak apa. Dan aku sudah mendapatkannya.

Mungkin saat kamu pergi, memang itu cara Tuhan menyadarkanku kalau kamu tidak layak dicintai. Mungkin, saat kamu memilihnya, itu cara Tuhan memberitahu, kalau belum apa-apa saja kamu tidak bisa setia, bagaimana kalau sudah menikah nantinya? Mungkin, saat kamu tidak memberi kabar sama sekali, itu adalah tanda kalau sebenarnya kamu tidak benar-benar mencintai. Kalau memang mencintai, kenapa pergi?

Hmmm. Kamu pergi saja sekarang.
Kalau aku ingat kamu seperti ceritaku, itu cuman mengenang sesekali. Tidak sama dengan masih mencintai atau masih ada kesempatan kembali.

Kembali itu sesuatu yang mustahil terjadi. Semua sudah tidak sama lagi. Aku bukan orang yang sama yang bisa kamu lukai lagi.

Read More ...

4 comments


Orang yang membicarakan orang lain saat bersamamu, juga membicarakanmu saat kamu tidak ada.
Jangan membicarakan orang lain saat bersamanya.

Orang sering tidak nyaman kalau kamu berbeda, jadinya inginnya kamu sama seperti mereka. Mereka lupa, kalau mereka pun tidak bisa menjadi seperti kamu.
Berubahlah hanya karena kamu menjadi lebih baik, bukan karena orang lain yang mengubahmu.

Orang mungkin akan menasehatimu, membicarakanmu di belakang, mencelamu, ketika kamu punya mimpimu sendiri yang tidak sesuai mimpi atau kemampuan mereka.
Jika kamu memang menginginkannya, jangan berhenti. Itu mimpimu bukan mimpi mereka. Hidupmu, bukan hidup mereka.

Orang mungkin bahagia dan sukses ketika menjalani sesuatu. Hanya karena mereka sukses di sana, bukan berarti kita juga akan sukses ketika melakukannya. Rezeki dan kemampuan orang berbeda.
Lakukan saja yang kamu sukai, yang kamu bisa, dari apa yang kamu punya. Yang kamu sukai akan membuatmu tidak mudah berhenti, yang kamu bisa akan memperbesar peluang keberhasilannya, yang kamu punya akan mengurangi ketergantunganmu pada hal lainnya.

Orang akan membeli apa, terserah mereka, bukan urusanmu, urusan kita. Hanya karena mereka punya, bukan berarti ego kita harus membeli sama atau lebih dari mereka.
Beli yang sesuai kemampuan kita saja, karena memang itulah hidup kita. Kita. Bukan mereka.

Orang punya kehidupan sendiri. Jangan merepotkan mereka. Jika mau berutang tapi tidak diberi, itu hak mereka, uang mereka. Kalau butuh bantuan tapi tidak dibantu, jangan emosi, mereka juga punya keperluan sendiri, kerepotan sendiri, masalah sendiri. Kamu bukan orang paling sengsara di dunia. Orang terdekatmu pun juga memiliki masalahnya.
Jangan selalu berharap pada orang lain. Bukan saja karena mereka punya urusan, keperluan, keluarga, dan hidup mereka sendiri; tapi juga agar kita bisa mandiri. Hidup kita, tanggung jawab kita.

Orang punya kelebihan sendiri. Kecantikan kita akan berbeda dengan kecantikan lainnya meski dengan make up yang sama dengan selebgram favorit kita. Muka, kulit, kemampuan finansial, semua sudah berbeda. Tidak perlu seperti mereka. Kamu sudah cantik dengan dirimu sendiri. Setiap kulit dan bentuk muka pun keperluannya tidak sama.
Kamu tidak akan bisa menjadi sama seperti siapa saja. Kamu adalah kamu. Tidak ada yang bisa berperan lebih baik menjadi seseorang selain dirinya sendiri. Istimewa dengan semua kelebihan dan kekurangannya. Setiap orang tidak ada yang sama.

Orang punya kesukaan, sifat, dan karakternya sendiri. Yang suka bercanda tidak akan nyaman menjadi pendiam, yang pendiam tidak bisa dipaksa menjadi orang yang banyak bicara. Jangan memaksa mereka menjadi apa yang kita mau. Kita pun tidak akan mau menjadi seseorang yang kita tidak nyaman menjalaninya. Selama mereka mencoba terbaik untuk bersosialisasi dengan caranya sendiri, tidak merugikan, biarkan saja. Dunia milik bersama. Bukan hanya milik satu karakter saja.

Pada akhirnya, kita adalah kita. Mereka adalah mereka. Tetap bersama, tanpa memaksa mengubah salah satunya, atau terpaksa menjadi salah satunya. Tetaplah menjadi kita, tanpa merugikan mereka. Dan juga sebaliknya.

Read More ...

2 comments


Kadang aku ingin kita duduk berdua, sebentar saja.

Tidak perlu berbicara banyak. Tidak perlu aku berusaha membuatmu nyaman atau bahagia. Biasa saja. Seperti dua teman lama yang tidak pernah canggung meski sudah lama tidak bertatap muka.

Mungkin ada kesempatan untuk 'membacamu'. Mencari tahu apa-apa di balik semua tentang kamu. Apa yang kamu suka dan tidak suka. Apa yang kamu inginkan dan tidak mau kamu lakukan. Seperti apa perempuan yang kamu suka, dan apakah aku termasuk di dalamnya.

Hahaha. Aku bercanda.

Tapi, aku tidak bercanda kalau sampai aku berkata kita sudah kenal terlalu lama. Sedikit banyak aku tahu saat kamu suka dan saat kamu ingin pergi sejauh-jauhnya. Aku tahu kamu suka makan apa, minum apa, bahkan alergi apa. Tahu juga kalau kamu gak akan nonton film horor, bukan karena takutnya, tapi males kagetnya. Bisa dibilang aku merasa aku tahu tentang kamu, semuanya. Garis bawahi kata 'merasa' di sana.

Ada satu hal besar yang tidak aku tahu tentang kamu, tentang kita.

Apakah dulu kita pernah saling cinta?
Jika iya, masihkah ada perasaan yang sama?
Jika jawabannya tidak, lupakan saja.

Tapi aku yakin, tidak akan ada pertanyaan apapun dari mulutku tentang itu, jika kita memang sempat duduk berdua, saling berbicara.

Read More ...

1 comments



Mungkin, aku tidak mengerti apa maumu dan kamu tidak memahami apa inginku. Di sinilah mungkin kita sering tidak menemukan titik temu.

Kamu tidak mengerti kalau aku hanya ingin ada kabar, sekecil apapun itu. Aku tidak akan curiga, tidak akan memberondongmu dengan belasan tanya. Aku percaya, selama kamu bisa dipercaya. Lagipula, untuk apa bersama kalau bahkan kita tidak saling percaya? Tetapi, masalahnya, aku sering terlalu lelah menunggu kabar sampai larut malam dan ketiduran.


Dengar, maksudku seperti ini. Menanyakan kabarmu itu bukan curigaku atau cemburuku. Mungkin ada sedikit tentang itu, tapi lebih kepada kalau ada apa-apa denganmu, aku ingin yang pertama tahu. Aku ingin bisa segera ke sana untuk memastikan kamu baik-baik saja. Tapi kalau menurutmu itu mengganggu, ya sudah tidak apa-apa.

Kalau aku ingin kita lebih sering meluangkan waktu bersama, atau setidaknya saling 'telponan', itu juga bukan ingin mengikatmu dan kamu tidak boleh melakukan apa-apa kecuali denganku. Tidak, aku tidak mau membatasimu. Tetapi, cinta seharusnya membuat seseorang lebih istimewa.

Kita cinta, jadi untukku sendiri, kamu itu istimewa. Setiap kebersamaan atau 'ngobrol' nggak jelas saja itu berbeda dengan ngobrol dengan orang biasa lainnya. Apa kamu tidak ingin lebih sering atau lebih lama bersama dengan orang yang 'istimewa'?

Aku tidak akan mengganggu waktu futsalmu atau ngopi bersama teman-temanmu. Aku hanya ingin seminggu sekali dua kali kita bertemu. Melakukan apa saja. Bahkan kalau sekadar makan kerak telor yang biasa di pinggir jalan raya. Tidak perlu mengubah jadwal futsalmu atau ngopimu. Seluangmu, tetapi setidaknya sempatkan waktu.

Setidaknya kita saling ngobrol meski telponan. Aku sadar kamu, aku, punya kesibukan sendiri-sendiri. Tidak bisa terlalu sering ngobrol atau bertemu. Tetapi setidaknya sebelum tidur atau istirahat siang--5 menit saja, tidak akan mengubah rutinitas kita. 5 menit saja, itu tidak lama. Tetapi, kalau menurutmu itu mengganggu privasimu, ya sudah, tidak apa-apa. Aku bisa apa?

Kalau aku juga sering bertanya kita itu sebenarnya mau bagaimana; mau terus seperti ini atau ada rencana lebih jauh nantinya, itu bukan menyuruhmu atau menuntutmu cepat-cepat melamarku. Aku juga tidak mau tergesa-gesa. Tetapi setidaknya setiap perjalanan harus ada tujuan. Hubungan ini apa juga punya tujuan? Kepastian? Atau sekadar hanya agar tidak sendirian?

Bukan apa-apa. Aku perempuan. Semakin tua, semakin banyak waktu sia-sia kalau menjalani hubungan hanya agar tidak kesepian saja. Setidaknya ya, setidaknya, aku ingin diyakinkan kalau kita punya tujuan sama, bersama selamanya. Bukan sekadar sementara, dan kalau ada yang lebih baik, berarti bukan jodohnya. Di usia kita, cinta tidak lagi sebuah canda. Begitu bersama, seharusnya saling menyesuaikan, bukan kalau tidak sesuai, cari lainnya.

Tapi kalaui menurutmu aku terlalu menuntut, aku harus bagaimana?

Setidaknya, ayo kita saling berbicara. Menyesuaikan yang bisa disesuaikan dan memahami yang bisa dipahami. Apa yang kamu suka aku suka, apa yang kamu tidak suka aku suka? Apa yang bisa diubah apa yang tidak?

Kalau untuk meluangkan waktu saling berbicara saja kamu tidak bisa, aku tidak tahu sebenarnya hubungan kita berdua ini hubungan apa.

Pastinya (ini inginku), semoga dalam waktu dekat ada kepastiannya. Jangan terlalu lama. Bukan berarti kesabaran itu ada batasnya, lebih ke aku tidak mau menunggu yang sia-sia.

Itu saja.

Itu saja.



Read More ...

8 comments

Kamu pernah(?), melihatnya, merasakannya, ingin mengatakannya, tapi tidak bisa mengeluarkan suara apa-apa?
Kamu pernah(?), berharap kalau bisa menghentikan waktu dan mengulangnya kembali? Berharap kalau semuanya hanya mimpi?
Kamu pernah(?), menyesali apa saja yang terlanjur terjadi dan apa saja tidak berani kamu katakan atau lakukan?

Kamu pernah(?), berjalan mendekati orang yang sangat kamu cintai, tersenyum lebar, menjabat tangannya erat sambil berkata, “Selamat, aku ikut bahagia.
Dan kamu tahu (dia pun tahu) itu hanya kebohongan untuk menutupi semua kecanggungan saat itu dan kesedihan setelahnya.

Kamu juga tahu kalau kamu tidak akan bisa memilikinya lagi. Tidak lagi. 










Read More ...

15 comments

Kadang aku kangen kamu.

Kangen meluangkan waktu bersama, berdua. Ngobrol sekonyol-konyolnya, atau bermain tebak-tebakan dari yang jelas sampai yang tidak jelas juntrungannya.

Itu yang membuatku tidak bisa lupa. Bagaimana kamu bisa membuatku nyaman tanpa membutuhkan perjuangan. Cukup ada di sana, menjadi diri kamu tanpa harus berpura-pura, dan aku bisa mensyukuri setiap detiknya.

Itu yang membuatku jatuh cinta.
Aku, di depanmu, tidak perlu menjadi siapa-siapa. Tidak perlu harus berusaha keras terlihat pintar atau bisa bercanda. Cukup di sana, menemanimu berbicara.
Seperti itu saja aku sudah bahagia.

Kadang aku kangen kamu.

Kangen ngobrolin komik atau film berdua. Berdebat entah apa tapi bercanda lagi setelahnya. Kembali nyaman berdua.

Lalu aku akan memperhatikan detail kamu. Pakaianmu warna apa, pakai sepatu apa, parfummu merk apa. Dan kamu akan tersipu karena aku memperhatikanmu sampai sekecil itu.

Masih ingat kalau ada seseorang yang bisa dengan melihatnya saja otomatis bisa membuatku bahagia begitu saja? Kamu pasti tahu orangnya. Kita berdua tahu orangnya. Kita hanya tidak pernah benar-benar membicarakannya.

Kadang aku kangen kamu.
Nyamannya, rasanya, hangatnya di dada pas kamu tertawa. Ja-tuh cin-ta-nya.

Kadang aku kangen kamu.
Terutama saat aku merasa kekasihku tidak terlalu peduli denganku.

Read More ...

39 comments



Aku ingat ketika kamu memasuki ruangan, dan aku seperti... pernah merasa bahwa semua pandangan seolah menyempit pada satu titik? Mungkin seperti itu. Selalu seperti itu setiap hari Rabu.

And there. Look at you. Berjalan dengan percaya diri, tersenyum menyapa teman-temanmu sambil entah bercanda tentang apa. Mungkin aku tidak mendengarnya atau mungkin fokusku diambil sepenuhnya oleh kamu sampai aku tidak bisa mendengar apa-apa.


Sebelum duduk, kamu sempat melihatku, tersenyum (Atau setidaknya menurutku itu memang kamu tersenyum kepadaku). Aku berdebar. Kencang. Lalu ikut tersenyum. Merasa senang karena kamu melihatku. Kamu, yang setiap hari Rabu, akan berenang di gedung sebelah dan akan berkumpul di sini bersama teman-temanmu. Menikmati semangkok mi (biasanya) dan juga es lemon tea. Aku, yang setiap Rabu, akan duduk di pojokan sebelah kiri pintu belakang (tempat paling tersembunyi) menikmati secangkir kopi dan roti selai stroberi. Mengeluarkan buku untuk kubaca sambil sesekali mencuri pandang ke arahmu.

Lalu akan menikmati pemandangan punggungmu (kalau beruntung sering wajah sampingmu jika sedang bercanda dengan teman lainnya). Kamu selalu memilih kursi yang menatap pintu masuk. Aku tidak tahu alasannya, tapi kamu selalu di posisi itu. Dan sepertinya teman-teman kamu sudah mengerti itu, karena aku lihat tempat itu selalu sengaja dikosongkan sebelum kamu datang. Jadi, posisiku selalu hanya bisa melihat punggungmu, kecuali tentu saja saat kamu masuk ruangan atau mengambil sedotan di kasir yang letaknya tegak lurus dariku.

Kalau berjalan masuk, ada urutan meja sebelah kiri dan kanan. Dan kalian akan berkumpul di meja nomor tiga dari pintu bagian kiri. Itulah kenapa aku selalu bisa menikmati kamu. Berlama-lama sampai kamu pergi entah ke mana lagi setelah itu.

Hari ini berbeda. Hari ini, aku masih di tempat yang sama, karena aku selalu memesan tempat ini setiap hari Rabu beberapa jam sebelumnya. Tetapi kamu, kalian, tidak di tempat biasanya. Aku juga tidak tahu kenapa hari ini banyak abg yang ke tempat ini. Satu-satunya tempat kosong hanyalah meja di sampingku. Tempat tersembunyi kedua di cafe ini. Sering kujadikan cadangan kalau tempatku yang sekarang sudah dipesan orang terlebih dahulu.

Mungkin karena itulah kamu tadi bisa melihatku, tersenyum kepadaku, hal yang selalu kuhindari dan karena itu aku selalu memilih tempat paling pojok dan paling belakang. Tetapi kata sebuah buku yang kubaca, secara psikologi, aku sebenarnya menginginkan hal yang aku hindari. Menginginkan kamu melihatku, tersenyum kepadaku. Tapi (secara psikologi lagi), aku terlalu takut jika memang ternyata ada kesempatan itu, apakah benar-benar kamu akan melihatku, menyapaku? Jadi, sebenarnya bukan kamu yang kuhindari, tetapi 'hasil yang tidak diinginkan' yang kuhindari sehingga aku memilih tempat yang tersembunyi. Terlalu takut kalau hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan, membuat kita tidak berani mengejarnya.


Kali ini, aku tidak memandang punggungmu lagi. Aku bisa memandangmu penuh dari sudut diagonal, sehingga bisa melihat kamu tertawa, berbicara, berwajah serius, semuanya. Sepuas-puasnya. Aku menikmatinya tapi malu kapan pun aku ketahuan melakukannya olehmu. 

Lalu kamu berjalan. Mendekat.

"Hai," katamu.

Aku tersenyum untuk menutupi kegugupanku.

"Hai," balasku.

Dia mengulurkan tangan, tersenyum, dan aku menjabat tangannya. Hangat.

"Arya," katanya. O, namanya Arya.

Kalau ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kulupakan, momen ini akan menjadi salah satunya.

"Jadi," katanya, "setiap hari Rabu, kamu akan duduk di sini, di tempat paling tersembunyi, memesan kopi dan roti selai stroberi, membaca buku, sendiri. Kecuali hari ini. Hari ini akan juga ada aku."

Bumi seperti berhenti bergerak.

Dia tersenyum.


Read More ...

18 comments

Aku tidak akan membencimu. Tetapi, juga tidak berarti aku akan melupakan semua luka yang kamu berikan kepadaku. Aku akan menyimpannya. Semuanya. Untuk mengingatkan bahwa kamulah yang tidak pantas untukku, bukan aku. Untuk penanda ada luka di sana, dan aku tidak boleh mengalaminya lagi bagaimanapun juga.

Aku tidak akan 100% menyalahkanmu atas perpisahan kita. Karena, untuk apa bertahan jatuh cinta kalau dua-duanya tidak berbahagia.

Mungkin kamu pergi karena kamu tidak bahagia bersamaku. Mungkin aku harus pergi karena aku tidak akan bahagia bersamamu karena yang kamu pikirkan hanya pergi dariku.


Aku akan jatuh cinta lagi. Mungkin akan sulit melupakanmu, tetapi melepasmu itu harus terjadi, mau tidak mau. Tidak akan semudah membalik tempe di penggorengan, aku tahu. Tapi juga tidak akan sesusah membuat arca sendirian dalam semalam sebanyak seribu.

Karena aku tahu, pada akhirnya, pelan-pelan, sedemikian pun kita bertahan, pada akhirnya akan sampai pada “Ya sudahlah, ya. Tidak akan berubah mau aku lakukan apa pun juga.”

Aku tahu, pelan-pelan, semua yang pada akhirnya bisa menerima kenyataan  akan bisa melepaskan.
Aku sedang proses untuk itu.


Aku akan bahagia lagi. Aku tahu itu. Aku yakin itu. Aku akan mengusahakan itu. Kalau tidak bersamamu, mungkin bersama orang lain yang memang untukku, yang memang mau bersamaku. Berpasangan itu karena keduanya ingin bersama, bukan hanya karena jatuh cinta, apalagi ‘pernah’ jatuh cinta.

Catatanku, sebelum kamu ada pun, aku pernah bahagia. Jadi, tanpamu pun aku seharusnya tetap bisa bahagia. Mulai sekarang, selalu itu yang sedang kutanamkan terus di kepala.



Tetapi, ini pelajaran penting untukku, untuk kita. Untuk tetap jatuh cinta, tetapi jangan pernah lupa untuk juga berbahagia. 



Read More ...

2 comments



Aku 'tahu' kamu akan pergi, aku hanya tidak tahu akan secepat ini.

Dari awal, aku sudah ikhlas. Bukan saat kamu memutuskan pergi, tapi justru sejak awal kamu datang dan mengajakku berpasangan. O, bahkan saat awal berkenalan. Mungkin karena aku sudah belajar dari pengalaman, kalau orang, secinta-cintanya kita atau mereka, bisa pergi dan datang.

Yang awal saling sayang, bisa menjadi seperti dua orang asing kemudian. Yang awal sudah punya rencana-rencana untuk tetap bersama, ternyata berpisah juga pada akhirnya. Dua orang bisa berencana menjadi suami istri, tapi baru benar-benar terjadi kalau keduanya sudah benar-benar menjadi suami istri. Jika masih rencana, seberapa persen pun kepastiannya, tetaplah masih wacana. Masih rencana. Seperti halnya orang yang 100% yakin bisa bangun pagi untuk jogging, tapi keesokannya bisa saja memilih untuk tidur lagi.

Dari sana aku mengerti, semua masih tidak pasti sebelum itu pasti. Kita tidak pernah tahu kemungkinan apa yang terjadi, seberapa pun yakinnya kita pada apa yang kita inginkan untuk terjadi.

Begitupun kamu. Setelah kita menjadi sepasang, aku tahu dua hal. Kita bisa berpisah, atau tetap berpasangan. Dengan waktu yang berjalan, masih terlalu banyak kemungkinan. Masih banyak orang lain yang akan kita temui. Bisa jadi salah satu dari kita menemukan cinta baru lalu memutuskan pergi. Pada saat itu, mungkin salah satu dari kita memang tidak setia, atau memang sebenarnya tidak benar-benar jatuh cinta. Hanya merasa nyaman ketika berdua, bukan berarti itu cinta. Kenyamanan, tidak berarti sama dengan rasa sayang.

Aku tidak mau berpikir buruk. Aku berpikir realistis. Sebelum kita benar-benar menjadai suami istri, berarti kita memang belum suami istri. Tentu aku berharap itu yang terjadi. Tetapi, aku juga harus bersiap kalau-kalau bukan yang kuinginkan yang terjadi. Itulah kenapa aku 'tahu' kamu akan pergi. Bukan pasti, tetapi berjaga kalau benar terjadi kamu pergi.

Aku merasa kita harus bahagia. A-KU. Aku, harus bahagia. Denganmu atau dengan orang lain nantinya. Bahagia tidak harus bersama orang yang kita inginkan. Tetapi, kalaupun iya, tentu itu bahagia yang lebih menyenangkan. Kalaupun tidak, aku tetap harus berbahagia. Bersama siapapun itu yang ditakdirkan, di tempat mana pun aku berada, dengan apa saja yang aku punya.

Dan, benar. Aku 'tahu' kamu akan pergi. Aku hanya tidak tahu akan secepat ini.

Tetapi, tahu apa yang paling menyenangkan tentang kamu? Aku tidak harus berpura-pura menjadi orang lain saat bersamamu. Itu. Itu yang paling menyenangkan tentang kamu. Menjadi diri sendiri itu menyenangkan. Dan mungkin itulah yang membuatku merasa nyaman.

Mungkin karena itulah, di pikiranku sudah benar-benar tertanam di kepala: Ini orangnya, orang yang aku inginkan untuk kujadikan pasangan selamanya. Di keluargaku, kamu juga sudah dianggap saudara, Mereka menyukaimu karena kamu baik, sopan, dan bisa dekat dengan mereka. Sesuai untukku, dan kita pasti akan bahagia. Lagi, itu kata mereka.

Lalu kamu datang suatu malam dengan muka kusam. 'Terjadi sesuatu yang buruk,' aku tahu.

Kamu meminta maaf berkali-kali dan aku berusaha menenangkan diriku sendiri lebih dari berkali-kali. Kalau sampai kamu meminta maaf berkali-kali bahkan sebelum mengatakan alasannya, berarti yang terjadi pasti buruk sekali.

Di hatiku berharap semoga ini bukan akhir, tapi di kepalaku justru berkata untuk bersiap karena di sinilah semua harapan itu akan berakhir.

Tetapi apa penyebabnya, kamu juga tidak segera mengatakannya. Mungkin kamu bingung merangkai kata sampai selalu terbata-bata.

Ini akan memakan waktu lama kalau kamu terus berputar-putar saja. Kamu berbuat apa? Salah apa? Ada apa? Minta maaf untuk apa?

"Sudah! Katakan saja!" aku tahu kamu menungguku mengatakannya jadi aku mengatakannya. Biar cepat selesai. Toh pada akhirnya, nanti atau sekarang, tidak akan mengubah kenyataan.

Lalu di sana. Hal yang lebih menakutkan dari yang paling kutakutkan kalapun kita berpisah terjadi. Aku tidak pernah mengira hal seperti ini yang akan membuat kita berdua berakhir.

Kamu menghamili perempuan lain adalah sesuatu yang benar-benar di luar perkiraan. Ya, aku bersiap untuk kemungkinan kamu selingkuh atau mencintai gadis lain. Tetapi, menghamili? Meng-ha-mil-i?!

Aku 'tahu' kamu akan pergi. Aku hanya tidak menduga kamu ternyata orangnya seperti apa.

Satu pelajaran lagi. Kita bisa seolah-olah benar-benar mengenal seseorang sepenuhnya, tapi kita tidak akan pernah memahami jalan pikirannya sepenuhnya.

Selalu berharap yang terbaik, tapi juga bersiap untuk kemungkinan yang terburuk. Hanya saja, aku tidak mengira ada yang lebih buruk dari perkiraanku yang paling buruk.






Read More ...

7 comments

Tau



“Dia bukan siapa-siapa. Teman biasa. Jangan curigaan, ah!” katamu.

Ya, aku tau. Aku tahu ceritamu dan dia. Kalian bersahabat sejak SMA. Aku tau. Tidak ada cinta. Aku tau. Tau kalau selalu itu yang kamu ceritakan kepadaku.

Aku hanya mau tanya. Bagaimana kamu akan menjelaskan senyummu yang bisa otomatis muncul begitu saja ketika tidak sengaja bertemu dengannya? Bagaimana kamu akan menjelaskan kecepatanmu yang dengan segera menjawab telepon atau WA-nya? Bagaimana kamu akan menjelaskan betapa sering dengan tidak sengaja kamu bisa tiba-tiba bercerita tentang dia dengan begitu semangatnya?

Ya, mungkin karena kalian sudah mengenal dan dekat begitu lama. Ya, tentu saja. Dua orang yang kenal dan sering bersama dalam waktu lama bisa sangat dekat dan tidak akan lupa. Baiklah, mungkin memang seperti itu.

Aku menenangkan hatiku dengan cara itu.

Tetapi, itu dulu.

Lalu pada suatu acara reuni kalian, dia membacakan puisi. Ketika namanya dipanggil, kamu mungkin tidak tahu aku memperhatikanmu. Kamu terlalu fokus pada senyum dan berbinarnya matamu mengikuti langkahnya ke panggung. Dan ketika dia membacakan puisi, kamu lupa segalanya. Lupa kalau ada aku di sana, di sampingmu, memperhatikanmu yang matamu seperti lengket kepadanya dan senyummu seperti default kalau ada dia di jangkauan mata.

Kamu mencintainya. Masih mencintainya. Tidak pernah tidak. Aku tau. Semua terlihat terlalu jelas dari cara kamu melihatnya. Tidak ada orang yang bisa menyembunyikan cinta sebesar itu di matanya.
Aku tidak tahu harus bersedih atau lega karena akhirnya kecurigaanku memang nyata.

Kalau cinta itu masih penuh dengan dia, aku kamu sisakan berapa?

Oya, kapan kamu bisa menerima kenyataan kalau dia sudah menikah dengan seseorang?






------------------------

*Sengaja menuliskan kata ‘tau’ yang sebenarnya EYD nya adalah ‘tahu’. Untuk kali ini, karena judulnya akan ambigu jika ditulis ‘Aku tahu’. Orang mungkin akan berpikiran ‘kenapa kamu bukan tempe?’
Read More ...

11 comments



Teman kita pernah bercerita.

Ada dua orang yang selalu tidak sabar menunggu pagi. Keduanya, ingin terus bertemu lagi, untuk saling mengagumi. Merasakan hangatnya percakapan, merasakan bagaimana ternyata seseorang bisa membenci malam karena itu artinya perpisahan.

Menyenangkan.

Dua orang itu juga selalu menjadi perhatian teman-temannya. Mereka akan menggoda, menjodoh-jodohkan keduanya. Dua orang itu akan tersipu begitu saja.

Teman kita pernah bercerita.

Dua orang itu pernah menjadi dua orang yang saling jatuh cinta, tapi tidak ada yang berani mengatakannya. Itu berlangsung lama. Terlalu lama.

Sampai salah satu bosan menunggu, dan satu lagi masih takut kalau satunya tidak memiliki perasaan yang sama.

Dua orang yang saling jatuh cinta, tetapi tidak pernah bersama.

Kata teman-teman, dua orang itu adalah kita.





Read More ...

9 comments



Kalau ada yang bertanya apa 100 hal yang bisa membuatku bahagia, aku bisa menjawab kamu seratus-seratusnya.





Read More ...

0 comments


Aku menuntutmu mencintaiku seolah-olah belum pernah ada yang menyakitimu. Lepaskan luka-lukamu yang dulu, lepaskan bahagiamu yang dulu. Kamu sudah bersamaku, bukan bersama masa lalumu. Jadi, jangan mencintai orang yang baru dengan hati lamamu.

Aku menuntutmu untuk memberikan hati dan pikiran baru. Aku bukan dia, dia, atau dia. Fisikku tidak sama, sidik jariku pun tidak sama, apalagi sifat-sifatku. Kamu tidak bisa mengharapkan aku memiliki tingkat humoris seperti dia, tidak bisa mengharapkan aku memiliki kebiasaan seperti dia. Tapi aku memiliki tanggung jawab untuk menjaga bahagiamu lebih besar dari mereka semua.

Aku yang bersedia menerimamu yang sekarang, bukan mereka. Aku yang bersedia bersamamu berlama-lama, mendengarmu bercerita, atau menemanimu keliling kota. Aku. Bukan mereka.

Jadi, berhenti membandingkan. Mulailah melihatku.

Aku mencintaimu, sekarang. Kamu. Kamu yang sekarang. Bukan kamu yang dulu meski aku menerima masa lalumu apa pun itu. Tapi jangan hidup di masa lalumu kalau menginginkan bahagia baru.

Aku bukan siapapun di masa lalumu.

Jangan hidup di masa lalu. Hiduplah bersamaku.


Read More ...

2 comments

Tidak ada lagi yang sama. Tempat yang biasa kita datangi, warung mi ayam langganan kita, atau kacang rebus pinggir jalan di pojok perempatan dekat pos polisi. Rasanya sama, tetapi tetap suasananya berbeda.

Dulu, kalau ada kamu, aku menikmati setiap detiknya. Sekarang, aku ingin semua berlalu secepatnya. Sayang sekali, semua tempat itu adalah tempat yang memang aku sukai, jadi mau tidak mau, aku akan ke sana menikmati hari.

Setiap kali di tempat-tempat itu, bermunculan kamu di mana-mana. Di depanku sambil tertawa, membeli kacang rembus sambil bergurau dengan penjualnya karena seringnya kamu membeli darinya, atau kamu mengerutkan dahi setiap aku menambahkan empat sendok sambal ke mi ayamku. Kamu tahu aku selalu melakukannya, tetapi kamu tetap merasa heran setiap kali melihatku memasukkan begitu banyak sambal ke makanan apa saja.

Read More ...

6 comments



Dua tahun mengenalmu, membuatku hafal dengan kebiasaanmu.

Yang selalu menambah satu air mineral kalau memesan minuman apa pun. Katamu, yang manis untuk nongkrong sama aku, yang air mineral untuk hausmu.

Yang selalu geleng-geleng kepala setiap aku memborong buku atau sedang mengetik fiksi untuk blogku.

Yang selalu tertawa melihatku menghirup aroma kopiku sebelum meminumnya.


Read More ...

2 comments


Kadang-kadang, aku kangen kamu. Kangen ketika kita sering ngobrol dan tertawa dulu. Kangen ketika kita berdua duduk berhadapan dengan secangkir kopi Lampung hitam di mejaku dan secangkir teh melati di mejamu. Kangen menemanimu bercerita seolah sebuah kamus humor berjalan yang memiliki stok cerita lucu yang tak ada habisnya.

Atau kangen ketika berkaraoke berdua, dengan suaramu yang ngebass dan sering falsnya tapi dengan pedenya terus berteriak-teriak dengan entah nada apa. Saat lagunya sedih kamu akan pasang juga muka sedih, sok serius menghayati lagu.


Read More ...

2 comments



Ta, bukan jarak yang membuat kita terasa jauh, tetapi karena kita tidak saling berbicara. Maksudku, benar-benar berbicara. Bukan sekadar, “Kamu lagi apa?”, atau menceritakan apa yang hari ini kamu atau aku lakukan. Tetapi, apakah hatimu berubah? Apakah di sana kamu bertemu orang baru, yang awalnya biasa, lalu semakin lama, tumbuh menjadi cinta?

Jarak bukan masalahnya, tetapi komunikasi kita. Di bagian itu, mungkin kamu yang tidak bisa memahaminya.

Aku tidak takut dengan kejauhan, Ta. Di masa sekarang ini, jarak sejauh apapun bisa dipendekkan dengan saling berbicara. Ada Skype, Whats App, BBM, dan lain sebagainya. Semakin rutin kita berbicara, semakin hati kita terjaga. Semakin jarang kita saling menyapa, hati kita pun semakin kentara jaraknya.

Read More ...

14 comments



Kita tidak akan berbicara tentang bagaimana kamu mematahkan hatiku, atau bagaimana lelahnya aku untuk berusaha melepaskanmu setelah itu. Itu tekadku hari ini.

Aku tidak mau membahasnya. Biar aku yang merasakannya, dan menyimpannya. Karena seberapapun aku menjelaskannya, kalau tidak mengalami sendiri kamu toh tidak akan mengerti. 

Sekarang, aku mengambil risiko besar ini, dengan menemuimu. Risiko yang dulu tidak berani aku ambil karena takut hatiku juga bisa kembali kamu ambil. Tetapi, kali ini aku sudah siap. Karena meski hatiku sudah melepasmu lama, tetapi pikiranku baru saja bisa melakukannya. Jadi, ini, aku di sini. Menguji mata, hati, dan pikiranku untuk menemuimu kembali. 

Read More ...

19 comments


1.
Kamu tahu tidak ada gunanya di sini, bersama orang yang sudah tidak sama lagi. Kamu hanya takut untuk pergi.

2.
Awalnya membanding-bandingkan, lalu mencari kekurangan biar ada alasan melepaskan.

3.
Yang dilepaskan kan perasaannya, bukan silaturahimnya.


4.
Aku cemburu, sayang. Aku hanya tidak bisa mengatakan.


Read More ...

3 comments


Bapak tua di depan kami bukanlah siapa-siapa. Waktu itu kami hanya mampir di sebuah warung remang-remang kecil di tengah perjalanan ke Wonosari dari Yogya.

Pada saat kami datang, dia sudah duduk di sana. Berceloteh apa saja. Kata pemilik warung, namanya Yanto, dan meminta kami untuk memakluminya.

"Biarkan saja, mas, mbak. Wonge memang gitu. Tapi gak bahaya, kok."

Ya, sudah kami menurutinya.

"Wektu ra bakal mandeg mlaku, mbok'o koe terus nunggu (Waktu tidak akan berhenti, meski kamu menunggu)," katanya.

"Nek kesuen le mu nunggu, eman-eman wektumu (Kalau kelamaan kamu menunggu, sayang waktumu). Durung mesti sing mbok tunggu peduli yen mbok tunggu (Belum tentu yang kamu tunggu peduli kalau kamu sedeng menunggu). Durung mesti sing mbok tunggu ngerti yen mbok tunggu (Belum tentu yang kamu tunggu tahu kalau kamu tunggu)."

Aku mendengarnya, pasti juga dua teman yang bersamaku.Tetapi, mungkin cuma aku yang paham betul artinya, karena dua temanku bukan dari Jawa.

Pak atau mas Yanto itu lalu menyeruput tehnya yang cokelat pekat. Khas orang Jawa, Nasgitel, katanya. Panas, Legi, Kuenthel. Lalu menerawang lagi. Kami juga menyeruput minuman kami, sambil sesekali makan gorengan.

Karena capek, dua temanku memilih pindah ke tempat lesehan untuk menyandarkan punggungnya. Aku lebih memilih di sini. Mendengarkan pak atau mas Yanto terus berceloteh. Ada banyak hal yang dia katakan ada benarnya.

Sesekali dia ngobrol dengan pemilik warung. Tetapi, ya itu. Ngobrolnya ngalor ngidul, ngelantur. Sepertinya orang-orang sini terutama pemilik warung sudah paham kelakuan pak atau mas Yanto ini.

Di sela ocehannya, sesekali pak atau mas Yanto ini ngomong tentang Tuhan, sesekali lain tentang manusia yang kacau, dan lain sebagainya. Tapi tiba-tiba, dia bisa ngomong hal lain seperti ini.

"Opo gunane meksakke sing wes ngerti hasile ora bakal koyo sing dipeksakke (apa gunanya memaksakan sesuatu yang sudah tahu hasilnya tidak akan seperti yang dipaksakan). Wes ngerti ora iso bareng, kok mekso bareng (Sudah tahu tidak akan bisa bersama kok memaksa bersama). Wes ngerti ora bakal disetujui wong tuane mergo agamane bedo (sudah tahu tidak akan disetujui orangtuanya karena agama yang berbeda), kok yo isih ngengkel nek iso urip bareng suk mbene (kok ya masih yakin kalau nantinya pasti bisa bersama). Mikir duwur kui penting, neng nek ra logis, malah marakke loro ati suk mbene (berpikir tinggi atau berharap tinggi itu penting, tetapi kalau tidak logis nantinya akan membuat kita sakit hati)."

Di sana, aku teringat kamu. Tidak, bukan karena agama kita berbeda. Agama kita sama. Tidak masalah. Hanya teringat pada memaksakan sesuatu yang hasilnya sepertinya tidak akan seperti yang dipaksakan. Itu yang aku pikirkan.

Aku memaksa bertahan selama ini. Kamu tahu benar itu. Aku juga tahu benar itu.

Sekarang coba ingat, sudah berapa lama kamu dan aku, tidak pernah lagi duduk berdua untuk saling berbicara? Sudah berapa lama kamu ingin pergi dan aku terus menahanmu agar tidak pergi? Sudah berapa lama kita seperti orang asing? Hanya ada pertanyaan basa-basi 'sudah makan?' atau 'lagi apa?'

Dulu, sewaktu kita masih saling jatuh cinta, dua pertanyaan itu bisa sangat menyenangkan. Dulu. Dulu waktu masih jatuh cinta. Sekarang, kita berdua sama-sama tahu, kalau itu basa-basi saja. 

"Koe ra bakal neng endi-endi nek karo sing biyen wae koe ra iso lali (kamu tidak akan bisa ke mana-mana kalau dengan masa lalumu saja kamu tidak bisa lupa). Ra iso nduweni sing nggawe koe seneng yen sing nglarani koe malah isih mbok goceki (tidak bisa memiliki yang membahagiakanmu kalau yang justru melukaimu masih kamu pertahankan)," pak atau mas Yanto berceloteh lagi.

Lagi-lagi ingatanku kembali kepadamu.

Masih ingat, berapa kali kamu berbuat salah dan aku memaafkanmu lagi? Berapa kali aku melewati malam-malam dengan menangis, kamu merayuku, setelah berhasil, kamu bersikap seolah-olah tidak ada apa-apa yang pernah terjadi.

Lalu kamu merayu dan meminta maaf lagi untuk ke sekian kali. Bodohnya, aku memaafkanmu lagi. Seperti de javu. Aku terus bertahan, kamu terus melakukan kesalahan.

Dan tiba-tiba saja kamu ingin pergi. Kamu pikir selama ini aku bertahan itu untuk siapa kalau bukan untuk kita? Terus kenapa kamu yang terus melakukan kesalahan, tetapi kenapa kamu juga yang malah ingin pergi?

Ada apa dengan kita? Ke mana kata-katamu sewaktu berbuat kesalahan dan terus merayu, "Aku sangat mencintaimu. Jangan tinggalkan aku. Maafkan aku."

Ke mana itu semua? Apa bisa tiba-tiba hilang begitu saja, atau memang malah sebenarnya tidak pernah ada? Yang artinya kamu sebenarnya tidak pernah mencintaiku tetapi mencintai kebodohanku yang terus memaafkan kesalahanmu yang sama?

Ajaib. Sekarang ini, melintas semua waktu yang sudah kita lewatkan bersama. Lalu, semua menyimpul menjadi satu akhir yang baru aku tahu: pada akhirnya, pertahankan hanya yang memang layak untuk dipertahankan.

Akhir-akhir ini, sudah berulang kali aku melihat handphone, menunggu nada dering. Siapa tahu itu dari kamu. Tapi, tidak. Kalau bukan aku yang menghubungimu lebih dulu, tidak akan ada dering apapun di handphoneku dari kamu. Berarti hanya aku yang menunggu. Hanya aku yang bertahan. Hanya aku yang ... jatuh cinta. Sendirian.


"Kadang wong kui ngerti nek dikandani (kadang, orang itu tahu kalau dikasih tahu), ning emoh ngakoni lan emoh nglakoni (tetapi tidak mau mengakui dan tidak mau menjalani)."

Pak atau mas Yanto ini benar. Tidak ada artinya bersama, jika salah satu dari dua orang tidak 'benar-benar' mau bersama.

Karena itu aku akan berhenti bertahan karena kamu memang tidak mau aku pertahankan. Bagaimana bisa benar-benar 'berpasangan' jika hanya satu orang saja yang memperjuangkan?

Ini batasnya. Ini batas waktunya aku menunggu nada dering darimu. Ini juga batasnya mempertahankanmu.



It's like epiphany. I'm no longer have the feeling for you like I used to be.






--------
Epifani menurut googling, "Adalah peristiwa istimewa dalam kehidupan seseorang yg menjadi titik balik dengan pengaruh berbeda-beda, bisa negatif atau positif tergantung besaran epifaninya."









----
Sedang berusaha menulis kembali. Maaf kalau masih agak belepotan. Harus membiasakan diri lagi.
Read More ...

4 comments

1.
Kalau memang niatnya mau jatuh cinta lagi, ya hatimu jangan ditinggal di masa lalu.

2.
Berjuang itu bersama-sama, bukan satu orang berjuang, satunya lagi menunggu hasilnya.

3.
Ngarepnya menyenangkan, tidak sesuai kenyataannya tidak.

4.
Kangennya sudah, nurunin ego untuk bilang kangennya yang belum.


Read More ...

3 comments



Kita ini seperti sepasang, tanpa pernah benar-benar berduaan.

Jika sudah ngobrol, it was more than fun. Kamu bisa menceritakan apa saja dan aku bisa mendengarnya kapan saja dan berapapun lamanya. Kata demi kata. Bagiku itu seperti menonton sebuah film epic yang mampu membuat kita terpaku dan menontonnya berkali-kali. 

And then, there’s voices in my head, says, ‘Let's talk, and I will happy till the sky get dark’.

Kalau kamu sudah mulai menceritakan sesuatu yang lucu, aku akan terbahak. Don’t you know that it's funny how you can always make me laugh (or should I say happy?). Nobody can make me laugh like you did. Rasanya lebih hangat di dalam sana, di dada. Karena aku juga melihat kamu tertawa. 

Itu menyenangkan. Kita, melakukan hal-hal sederhana. Berbahagia di dalamnya. Tidak muluk-muluk. Tidak harus ke Bali, atau belanja ke Singapore. Tidak harus ke Dufan atau ke menara Eiffel. Cukup seperti ini saja. Ngobrol berdua, dengan kebegoan-kebegoan cerita di dalamnya. Tertawa bersama, melakukan hal bodoh bersama. Karena bahagiaku memang selalu sesederhana, 'apapun, selama bersamamu, aku bisa bahagia.'

Denganmu, aku tidak harus berpura-pura. Tidak harus terlihat pintar, bijaksana, atau dewasa. Cukup menjadi aku saja. Katamu, aku sudah menyenangkan. Tidak perlu menjadi yang bukan aku sebenarnya. Selama itu adalah yang terbaik dari diriku sendiri, berarti itulah aku yang sebenarnya. Kalimat yang tidak pernah bisa aku lupakan dan tanpa kamu tahu, dari sana aku mulai bisa mencari tahu siapa aku sebenarnya. Di situlah aku mulai jatuh cinta. (Apa kamu mengetahuinya?)

Dan tiba-tiba, jatuh cinta tidak lagi sebuah 'old crap' atau 'alay'. Something that i used to believe in. Its real. I fall in love when you smile. I fall in love when you move your eyebrow up and down. I fall in love when you just sit there and read a book. I fall in love when you close your eyes, with your headphone and your lips mumbling making some voice of a song. I fall in love with whatever you do.

I fall ini love with you. Damn! I just know that 'falling in love' is real. Not a myth, not a bullshit thing.

Sampai akhirnya, kalau ada yang bertanya, bahagia itu apa? Aku ingin menjawab, "kamu." Satu kata itu saja. Satu saja. Itu sudah menggambarkan segalanya. Tapi tidak ada yang pernah menanyakan itu, dan aku khawatir tidak akan berani menjawab seperti itu. Jadi, aku aman.

Tentang cinta diam-diam itu, mereka sering mengatakan, ‘Katakan saja!’. Ya, mudah mengatakannya, sulit mempraktekkannya. Karena setiap kali aku mau mengatakannya, lalu melihat kamu tersenyum saja, nyaliku rontok begitu saja. Bertanya-tanya risikonya. Kalau ternyata kamu tidak memiliki perasaan yang sama, apa kita masih bisa seperti ini, sedekat ini? Karena kalau tidak, lebih baik aku tidak mengatakannya. Biar seperti ini saja.

‘Cause I love you without any 'terms and conditions'. Without you should love me back or we have to be together eventually. It just love and love its all. It just me, that can take anything as long as you happy. 

Its stupid, but i can take it.

But, in the end, i know the risk. Kita akan selalu menyesali tidak hanya apa yang terlanjur kita lakukan, tetapi juga apa yang tidak pernah berani kita katakan atau lakukan. Dan, ya, aku menyesalinya. Menyesali kenapa aku dulu tidak pernah mengatakannya.

Karena waktu berlalu, begitu juga kesempatanku. Terlambat mengetahui kalau kamu pun dulu punya rasa yang sama sepertiku. Sepertinya benar kata orang, hanya karena dua orang pada akhirnya tidak bersama, belum tentu keduanya tidak pernah saling jatuh cinta.

Masih ingat yang aku katakan kalau kita ini seperti sepasang? Ya, benar, ada kata 'seperti'. Hanya seperti. Tidak pernah benar-benar sepasang, atau benar-benar berduaan berbagi gombalan.

Cinta di udara, katanya. Love is in the air. Mungkin karena itu cinta tetap di udara, tidak benar-benar bersama kita. Karena pada kenyataannya, kita tidak pernah benar-benar 'sepasang'. Hanya diberi kesempatan untuk memandang bintang yang sama dari tempat yang berbeda. Bersyukur bahwa sejauh apa pun jaraknya, kita bisa menikmati hal yang sama. Diberi kesempatan untuk merasakan cinta dan membatin, alangkah menyenangkannya kalau kita bersama. Diberi kesempatan untuk belajar melepaskan pada saat justru sedang merasa nyaman.

Mungkin Tuhan memang membuatnya demikian, untuk mengajarkan kita tentang kebersamaan (dan mungkin keberanian?) dan kenangan (mungkin termasuk melepaskan?). Karena pada akhirnya, love is love and life is life. You can not guess what will happen next. You just have to just accept it,and go with it. Kamu bersama seseorang yang memang untukmu, dan aku pada akhirnya juga bersama seseorang yang memang untukku. Berbahagia sendiri-sendiri dengan orang lain.

Tetap bisa bahagia, meski tidak bersama. 

Kadang-kadang, aku ingin pada suatu hari kita akan bertemu lagi. Kamu membaca buku sambil mengayun-ngayunkan kakimu--mungkin sesekali minum sirup dingin di mejamu, dan aku menikmati musik dari hpku. Bahkan tanpa kita berbicara, aku bisa bahagia hanya berada di sana. Bersamamu, berdua. Kita, melakukan hal-hal sederhana dan berbahagia di dalamnya.

Well, in the end, we have to accept the reality. Tentang kita. Tentang kenyamanan yang pernah tercipta, meski harus berakhir juga pada akhirnya.


Sampai bertemu nanti. Kalau Tuhan mempertemukan kita lagi. But even its just a memory, would you say 'Hi' when you see me?





*By the way, dulu pada masa kita, aku pernah menjaga rinduku dengan kadar yang selalu sama setiap harinya, apakah kamu juga?





Read More ...

10 comments



Aku bisa saja tetap ‘mengganggumu’ dengan pesan-pesan ‘Apa kabar?’ atau ‘Lagi apa?’-ku. Aku bisa juga meneleponmu hanya untuk mendengar suaramu dan membuatmu terbiasa dengan perbincangan-perbincangan kita maupun keberadaanku. Apapun selama aku bisa sekadar menyiratkan, “Hai! Aku di sini. Aku ada. Lihat aku.”

Aku bisa saja tetap berharap kalau suatu saat kamu akan memberikan bunga, mengatakan kalau kamu menyadari perasaanku dan kamu merasakan yang sama. Harapan yang tidak juga hilang meski sudah berusaha berulang kali kulupakan.

Aku bisa terus menganggap kamu yang terbaik untukku, tidak ada yang lain. Lalu mengabaikan orang-orang di sekelilingku. Mengabaikan kelebihan-kelebihan mereka karena aku hanya terfokus pada kelebihan-kelebihanmu. Kamu, dan hanya kamu. Seperti ada banyak lilin di suatu ruangan, tetapi hanya satu lilin yang aku perhatikan.

Aku bisa saja terus memikirkan cara bagaimana untuk mendapat perhatianmu, bagaimana agar kamu tahu di sini selalu ada aku, lalu terus berusaha sampai kamu bisa mengerti kalau aku tidak pernah beranjak pergi. 

Aku bisa saja tetap di sini, menunggu. 

Tetapi, seberapa lama pun aku menunggu, hasilnya akan sama saja kalau bahkan kamu saja tidak pernah berpikir tentangku.


Read More ...

13 comments


Dengar, jangan lakukan apa-apa, jangan katakan apa-apa. Cukup baca dan pahami saja. Kamu tidak perlu membalasnya, tidak perlu juga terlalu memikirkannya.

Kalau kamu butuh teman untuk bercerita, kamu punya emailku, punya sosial mediaku untuk membaginya. Aku pasti akan membalasnya secepat aku bisa.

Kalau kamu butuh bahuku, selama memungkinkan aku juga bisa mengusahakan untuk ke sana. Bahuku untukmu kapan saja. Untuk bersandar ketika kamu lelah dengan dunia, atau untuk sekadar menyandarkan bahagia agar tidak berlebihan dalam menanggapinya. Mungkin tidak seberapa, tapi kadang hanya itu yang aku punya untuk bisa melihatmu kembali tertawa seperti biasanya.


Read More ...

6 comments



Rasanya berbeda setelah kamu tidak ada. Malam-malamnya, suasananya, apa saja. Karena hangat yang biasanya muncul begitu saja di dalam dada kapanpun kamu menyapa, kini tidak lagi muncul memanjakan mata. Hanya ada bayanganmu di kepalaku yang tidak bisa kulupa. 

Rasanya tidak lagi sama meski aku pun masih baik-baik saja. Aku masih bisa makan ayam goreng kremes kesukaanku, teh melati hangat, atau membaca buku. Masih bisa berjalan-jalan ke mall, menonton film, atau ke pantai yang aku suka. Masih bisa bekerja dan bersenang-senang. Tetapi pasti lebih menyenangkan kalau kamu masih ada.

Read More ...

15 comments


Aku tidak pernah lupa.

Aku tidak pernah lupa bagaimana menyenangkannya ketika kita tidak melakukan apa-apa, selain berbincang saja. Entah apa pun temanya, aku menikmatinya. Dari yang paling ringan tentang buku, film, sampai hal berat  seperti politik dan negara. Kita sering berbeda pendapat, tentu saja, terutama tentang politik dan negara. Tetapi tidak pernah masalah, karena justru bedalah yang membuatku bisa menemanimu berlama-lama. Kita bisa berdebat di sana.

Aku tidak lupa juga, bagaimana hanya dengan melihatmu, aku bisa tersenyum begitu saja. Aku tahu itu cinta, aku hanya tidak tahu apa kamu sebenarnya mengetahuinya. Kenapa juga kamu mau di sini bersamaku berlama-lama? Kenapa kamu selalu menjadikanku yang pertama kamu hubungi jika ingin berbicara? Cinta juga?

Tetapi aku tidak pernah (berani) menanyakannya. Terlalu takut juga untuk mengira-ngira kalau itu harapan. Jadi, aku tetap diam saja dan menikmati kapanpun kamu ingin aku di sana.

Aku juga ingat pada saat kita sering menyanyi bersama. Lagu-lagu Adele (kamu sering mengejanya A-de-le, dengan dele nya seperti kata kedelai di bahasa Jawa), Sheila on 7, Padi, Cokelat, Katy Perry, Natasha Beddingfield, John Mayer, dan lain-lain. Sampai aku suatu ketika memetik gitarku dan menyanyikan lagu yang masih asing bagimu.

           Broken pieces
A hundred kisses
A million views
Pictures of you
Read More ...

17 comments


1.
Pelan-pelan saja melepaskannya, tapi konsisten. Bukan berkali-kali nengok ke belakang.

2.
Kamu terlalu berani terus mengingat, terlalu takut melepas kenangan yang terlanjur kamu ikat.

3.
Kamu tidak bisa ke mana-mana kalau hanya memikirkan masa lalumu saja.

4.
Kalau kamu tidak menutup jalan kembali ke masa lalu, kasihan masa depanmu.


Read More ...

14 comments


Ya, aku tahu. Kita tidak bisa kembali ke masa lalu.
Ya, aku juga tahu. Sebenarnya sudah bukan waktunya lagi aku berbicara mengenai cinta, rindu, atau apa pun yang berkaitan dengan itu.
Tapi, Fey. Kadang-kadang aku memang kangen kamu. Kangen obrolan kita. Kangen meluangkan waktu bersama. Kangen melihatmu menggodaku sambil tertawa.
Kalau menurutmu aku sengaja mengingatnya, tidak juga. Aku tahu berdasar pengalamanku, Fey. Tidak seharusnya mengingat masa lalu jika memang sedang berusaha melupakan masa lalu. Itu sama saja berniat ke arah selatan, tapi kita berjalan menuju utara. Jadi kangen kamu itu bukan sesuatu yang kusengaja. Itu terjadi begitu saja. I dont want it, but it just happen like it.
Read More ...

8 comments



Sebenarnya aku ingin mengatakan, boleh saja pergi, tapi jangan lupa kembali. Tetapi tidak kamu dengarkan. Kesempatan yang aku berikan malah membuatmu lupa pulang.

Mungkin aku kurang berhati-hati. Atau mungkin kamu yang memang berniat pergi.

Kalau yang terakhir itu, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi.



Read More ...

5 comments


1.
Luka ada untuk membuat kita belajar, bukan meratapinya dan membuat diri kita sendiri jatuh sampai dasar.

2.
Rasa sakit kadang tidak bisa dihindari, tapi menderita lebih lama atau bangun secepatnya itu kadang pilihan kita sendiri.

3.
"Can you tell me how to move on from you?" | "Nothing. Just keep it in your mind that I never love you."

4.
Kita, dua orang yang ingin bertegur sapa, tapi tidak tahu harus bagaimana memulainya.

Read More ...

7 comments


Kali ini saya tidak menulis fiksi dulu, jika boleh.

Ada yang pernah memiliki book of dreams?

Saya punya. Meski tidak dalam buku, tetapi dalam file dokumen di Word. Ada sekitar 73 mimpi di sana. InsyaAllah tidak akan berubah, tetapi boleh bertambah. Ini untuk mengingatkan saya agar tetap di jalur yang sama, dan harus mencapainya. Yang penting punya tujuan dulu, kalau tidak, bisa-bisa kita hanya berputar-putar saja. Tujuan membuat kita fokus, lebih terarah, dan enak menjalaninya.

Beberapa mimpi pernah saya ceritakan kepada orang lain. Salah satunya adalah “Suatu hari harus ada buku yang di namanya tertulis namaku.”

Tahun berlalu, tidak ada nama saya di satu pun buku. Tahun lagi berlalu, dan berlalu, dan berlalu. Entah berapa tahun, bertemu lagi dengan orang itu. Saya masih mengatakan hal yang sama. Dia tertawa. Keras. “Ini sudah tahun berapa?”
Read More ...

11 comments



Kalau suatu hari kamu bertanya apa yang paling bisa membuatku bahagia, aku akan menjawab, "Kamu saja."*



---------------
Read More ...

10 comments



Kalau kamu menua nanti. Dengan keriput di hampir seluruh kulitmu dan sudah tak lagi punya gigi. Dengan aku menuntunmu atau kamu menuntunku karena salah satu dari kita sudah tidak lagi mampu sempurna melangkahkan kaki. Dengan seharian meluangkan waktu hanya ngobrol, nonton tv, membaca koran, atau sekadar duduk-duduk sambil minum teh atau kopi.

Aku masih akan di sini, mencintaimu lagi.

Kamu mungkin tidak lagi secantik dulu. Tetapi kamu pasti masih cantik sesuai usiamu di mataku.
Kita mungkin juga tidak sekuat ketika masih muda. Tidak bisa ke mana-mana karena kaki kita sudah tidak sehebat biasanya. Tetapi waktu yang kita luangkan bersama akan lebih lama dari dulu waktu kita masih berumur dua puluh lima. Mungkin di sela-selanya, kita bercerita tentang masa lalu kita. Bukan, bukan masa lalu kita bersama orang lain. Kita, masa lalu kita berdua dari bertemu sampai sekarang kita menua. Pertengkaran-pertengkarannya, kebodohan-kebodohan mempertahankan ego siapa yang benar, kecerewatanmu dan kekeraskepalaanku, bla bla bla. Tetapi meski dengan semua itu, dengan semua pertengkaran dan ego kita waktu masih muda itu, kita masih bertahan,


Read More ...

4 comments



Kata orang, jangan beri semuanya kalau sedang jatuh cinta. Sisakan ruang di hati untuk dirimu sendiri. Agar tidak habis kalau dia pergi. Agar
masih ada kesempatan untuk jatuh cinta kembali.

Aku sudah mencobanya, tetapi kalau denganmu, aku tidak pernah bisa memberi sebagian saja. Aku selalu ingin memberi hatiku, sepenuhnya.

Read More ...

6 comments


1.
Yang benar-benar bersamamu lebih penting daripada 'pasangan yang kamu inginkan dalam imajinasimu'.

2.
Pada akhirnya, cinta akan mengerti ke mana dia harus menitipkan hati.

3.
Kita akan selalu berbeda, tidak bisa sama. Tetapi cinta akan membuat kita (seharusnya) bisa menerima.

4.
Kadang-kadang, kita terlalu jauh mencari, padahal yang terbaik sudah menemani.


Read More ...

27 comments


Pernah merasa selalu berusaha menarik perhatian seseorang dan sudah mencoba berbagai cara, tetapi semuanya tetap sia-sia?

Pernah merasa kangen sekangen-kangennya sampai tidak berani mengatakannya karena takut yang dikangenin tidak merasakan hal yang sama?

Pernah merasa benar-benar ingin memeluk seseorang tapi tidak pernah bisa melakukannya karena orang yang ingin dipeluk bukanlah siapa-siapanya kita?


Read More ...

11 comments


Yang, ini lucu sekali. Kamu yang kulukai, tapi sekarang ini aku yang sangat merasa menyesal sekali.

Kamulah yang selalu mampu membuat jantungku berdetak lebih kencang. Dulu. Kamulah yang selalu mampu membuat senyumku muncul begitu saja kapan pun mataku menangkapmu. Kamulah yang mampu membuatku tiba-tiba bahagia kalau ada sms atau telepon dengan namamu di layar teleponku. Sampai aku sering bertanya akhir-akhir ini, setelah kamu tak pernah di sini, dan merasakan pahitnya tanpa kamu lagi, "Bisakah kamu tetap di sini, menghabiskan waktu sepanjang hidupmu di sini? Bersamaku lagi. Tertawa lagi, bertengkar lagi, lalu saling memaafkan dan jatuh cinta kembali?"

Lalu aku terjaga dari lamunanku, karena kamu sudah lama tidak bersamaku lagi.

Yang, aku ingin kembali. Tapi kalau kamu tidak mau, aku mengerti.

Tapi kamu harus tahu ini. Kamu mungkin mengira, hanya kamu yang terluka, hanya kamu yang hampir setiap malam terjaga karena begitu dalam lukanya. Tetapi, Yang, aku juga. Meski mungkin juga kamu tidak akan mengerti lukaku seperti apa. Karena sering juga aku ingin sekali meneleponmu, sudah memandangi nomormu di layar handphoneku, tinggal memencet tombol hijau saja, tetapi tidak pernah berani memencetnya. Orang bilang itu memang karakter perempuan, tidak seharusnya menghubungi lebih dulu. Aku bilang, itu hanya egoku, yang tidak mau mengalah lebih dulu.

Yang, aku ingin bersamamu lagi. Tapi aku akan memahami kalau kamu sudah tidak mempercayai aku lagi.

Aku sudah berubah sekarang, Yang. Aku tidak pernah lagi melakukan apa yang sudah kamu larang. Dan meski kamu tetap akan ngotot pergi dan tidak mempercayai aku lagi pun, aku tetap tidak akan mengulanginya. Ini kemauanku sendiri, untuk menunjukkanmu kalau aku tidak mau hal yang sama terjadi lagi. Melukai seseorang yang aku cintai, tetapi ternyata aku sendiri yang merasakan sakit berkali lipat setelah orang itu pergi.

Aku seharusnya menyadari kalau ada hal-hal yang memang tidak bisa kamu terima. Seharusnya mengerti bahwa kalaupun itu menyenangkan untukku, belum tentu kamu menyetujuinya. Seharusnya aku paham, bahwa cinta adalah dua orang yang tidak boleh mementingkan egonya. Kalau memang menyenangkan untukku, tapi kamu terluka, buat apa?

Seharusnya aku lebih perasa.

Yang, aku ingin kita kembali seperti dulu. Kalau kamu harus menenangkan diri dulu, aku mengerti dan akan membiarkanmu. Aku akan menunggu. Menunggu sampai kamu memutuskan bisa atau tidak untuk kembali bersamaku. Tetapi kalaupun kamu tidak mau, kalaupun permintaan maafku tidak sanggup untuk menukar rasa sakitmu, tidak mampu untuk mengembalikan kepercayaanmu, aku pasti akan menyesal sekali telah melukaimu. Dan kalau ada yang bertanya apakah aku merindukanmu? Apakah aku sering tiba-tiba saja teringat kamu? Seberapa besar aku ingin bersama lagi denganmu?

Sebanyak denyut nadiku.

Itu jawabanku.

Tetapi kalau ternyata kamu masih tidak bisa melupakan betapa ngeyelnya aku ketika kamu menasehatiku, merasa benar dan selalu membantahmu, tidak bisa memaafkan kesalahan yang berulang kali kulakukan dan terus melukaimu, itu tidak apa-apa. Aku akan menerimanya. Aku hanya menyesali semua yang terjadi, Yang. Aku hanya harus bertahan dulu dari rindu yang selalu bertambah bertubi-tubi ini. Aku harus mengerti bahwa kita tidak akan bisa lagi seperti dulu. Karena tidak ada yang bisa kulakukan kalau memang harus begitu.

Tapi, Yang. Aku kangen kamu.








____________________
Awalnya terinspirasi lagu Raisa, "Pemeran Utama". Nulisnya sambil dengerin lagu itu dan lagu "When I was your Man" nya Bruno Mars (D*mn, what a very sad song).

Harus lebih sering menulis fiksi lagi. :)
Read More ...

15 comments