Dia


Aku ingin memeluknya saat ini juga. Berlari, dan menangis di punggungnya. Sampai sesenggukan.

Meneriakkan semua kalimat yang selalu bertebaran di kepalaku, agar aku tidak lagi kelelahan menahannya.


Orang bilang, tidak mungkin dua orang berlainan jenis bisa tulus bersahabat. Apalagi dua orang itu pernah menjalin cinta sebelumnya. Aku tidak tahu tentang kebenarannya, tapi saat ini aku merasakannya. Aku bersahabat dengannya. Dia yang pernah mencampakkanku dengan elegan, tapi tetap bisa membuatku tergila-gila.

Aku selalu bilang kepada semuanya bahwa aku sudah melepaskan, bahwa aku dan dia hanya berteman. Tidak boleh ada cinta lagi di antara kami. Ini adalah sebuah perjanjian yang sudah kami ikrarkan.


Tapi kata hanyalah kata. Janji yang sudah bertahun-tahun berlalu, tetap tak bisa kutepati tanpa ada orang yang tahu. Aku bersembunyi di balik kebohongan dengan apa yang disebut 'persahabatan'. Aku masih mendambanya, masih mengaguminya, masih membandingkan siapa pun yang mendekatiku dengan dia. Itu kesalahan total. Pada akhirnya, tidak ada yang sebanding dengan dia. Semua yang datang, selalu aku ingin menjadi dia. Ini egois. Tapi aku tak bisa mengubahnya.

Dan 'persahabatan' sejati baginya sementara 'persahabatan' menyiksa bagiku ini, lama-lama terasa melelahkan.

Dia bisa dengan sesukanya masih memerhatikanku tanpa ada perasaan apa-apa. Tapi satu pertanyaan, "Lagi apa?" darinya saja, bisa membuatku tersenyum seharian.

Dia bisa saja menganggapku mantan yang berubah jadi teman. Jadi, tidak ada yang namanya kegeeran ketika aku perhatikan. Tapi satu momen ketika kami berdua makan atau berjalan-jalan, bisa membuatku baru bisa tidur sampai tengah malam.

Dia bisa saja bercerita tentang cewek yang ditaksirnya seolah dia sedang meminta pendapat seperti apa yang dilakukannya kepada teman-teman cowoknya. Tapi, dia tidak tahu, di dalam senyumku dan kediamanku mendengarkan itu, ada pertanyaan yang berulang di kepala tanpa pernah kusuarakan, "Kenapa dia? Kenapa bukan aku?"

Tapi sekarang, dia sudah mendapat gadis itu. Dan aku baru saja menemaninya membeli cincin pertunangan mereka, yang katanya, dia akan melamarnya nanti malam. Habis dari tempat makan kami berdua ini.

Lihat punggungnya. Punggung yang masih membuatku membayangkan betapa hangatnya dulu ketika aku naik motor dan memeluk punggung itu ketika memboncengnya. Punggung yang pernah membuatku berlama-lama membaca dengan menyandarkan punggungku ke punggungnya. Punggung yang pernah membuatku merasa sangat aman dan nyaman ketika berlindung di baliknya.

Tapi punggung itu sekarang menjauh. Dan aku melihatnya seperti gerak lambat dengan mata yang mulai sembab. Jangan menengok belakang. Aku tidak mau nantinya kamu beri belas kasihan.


Aku baru tahu, kalau pemandangan punggungmu yang menjauh, bisa memberi efek semenyesakkan ini ke dadaku dan mataku.

Aku ingin memeluk punggung itu sekali lagi, sebelum dia pergi bersama gadis itu.


Categories:

9 Responses so far.

  1. Azura Zie says:

    Waaaaaaaah Specchless, pernah berada di posisi 'sahabat' itu, meski nggak sedramatis ini.

  2. terlalu ternaskah keadaannya. Merinding. Kebawa kealam cerita xixixixi

  3. Joni says:

    kalau nulis bisa ngga bagus dikit ngga ya??kok semuanya bagus ya,,,membayangkannyapun terasa menyesakkan,

  4. Saya sedang berada diposisi ini mas Erick :')
    Terimakasihhh..

  5. Septi Ika says:

    huhu nyesek banget yaaa
    jangan sampe ngalemin yang begitu ah :')

  6. Anonim says:

    Saya sedang mengalami ini "persahabatan" sejak satu tahun lebih 3bulan ini. Semoga akhirnya tak semenyesakkan itu :"

  7. Unknown says:
    Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.