Dia selalu bilang tidak apa-apa. Dengan senyum yang sama, dengan mata yang berbinar seolah dunia tak pernah membuatnya kecewa. Padahal aku tahu…, itu bukan binar bahagia, itu hanya sisa air mata yang dipaksa kering oleh tawa. Luka yang ditutup dengan "baik-baik saja"-nya.
Dia selalu terlihat bisa. Kalau belum bisa, dia akan bilang, “Nanti ya. Tapi aku usahakan.” Dan benar saja, semuanya akan dia lakukan—entah bagaimana caranya. Kalau orang lain menyerah, dia tetap mencoba. Kalau orang lain mengeluh, dia justru menguatkan. Sampai aku heran, bagaimana caranya dia bertahan? Tapi, seperti biasa dia kalau ditanya pasti bakal tersenyum saja. Senyumnya yang tak bisa menyembunyikan entah berapa berat pikirannya sampai terlihat jelas di matanya. Dan aku selalu terenyuh dengan senyumnya.
Dan akhirnya malam tadi, aku tidak kuat lagi. Setelah tanpa sengaja melihatnya berairmata, dan langsung menghapusnya. Kejadiannya terlalu cepat, tapi mataku terlalu cepat menangkap. Aku merasa terluka tanpa dia melakukan apa-apa. Terluka karena melihat dia berairmata. Dan seketika, aku sadar. Orang yang terlihat sebegitu hebatnya, ternyata juga manusia biasa. Dia hanya tidak pernah mengatakan apapun yang terjadi kepadanya. Dadaku sesak tidak karuan, air mataku sudah mulai tidak tertahan.
Aku masuk ke kamar mandi, lalu menangis diam-diam. Bukan karena aku yang terluka. Tapi karena aku tahu, dia yang selama ini menahan luka. Dan tidak pernah memberitahu siapa-siapa. Karena katanya, “Semua orang sudah cukup lelah dengan masalahnya masing-masing. Aku tidak mau masalahku memberi mereka efek samping.”
Lalu siapa yang boleh tahu rasa sakitnya? Siapa yang boleh tahu berat langkahnya? Dia terlalu kuat untuk dianggap lemah, tapi terlalu sunyi untuk didengar oleh telinga yang hanya menunggu cerita bahagia. Diamnya mencoba menenangkan, tapi matanya menyimpan banyak beban.
Sungguh, aku ingin bilang padanya: “Kamu tidak harus kuat setiap waktu. Tidak ada yang selalu bisa jadi superhero tanpa jeda. Menangis itu bukan tanda kalah, menangis itu cara tubuh bilang: 'Aku lelah, tapi masih ingin bertahan.'”
Aku ingin dia menangis dan bercerita. Sesenggukan kalau bisa. Mengeluarkan seluruh air mata yang ditahannya. Tapi kalau tidak bisa bercerita pun tidak apa. Cukup menangis saja. Tidak mengurangi bebannya, tapi siapa tahu sedikit lega.
Aku ingin yang melihat dan menemani tangisnya. Aku mungkin bukan penyembuh lukanya. Tapi aku ingin jadi saksi dari keteguhannya. Aku ingin menemaninya bukan karena dia butuh, tapi karena aku ingin. Bukan karena aku mampu mengubah dunia, tapi karena aku ingin menunjukkan bahwa dunia belum sepenuhnya pergi darinya. Bahwa kalaupun dunia menjauhinya, aku tetap di sini bersamanya.
Aku ingin dia tahu, dia tidak sendirian. Aku mungkin tak bisa angkat beban dari pundaknya, tapi aku bisa berjalan di sampingnya, mendengarnya, atau duduk berdua meski hanya menemani diamnya. Sekadar memastikan dia tetap ada. Dan aku juga ada di matanya.
Dan kalau nanti dia jatuh, aku tak akan berkata, “Kamu harus bangkit.” Tapi aku akan duduk di sisinya.
Menunggu sampai dia sendiri yang berkata, “Aku ingin melanjutkan hidupku.” Dan aku pun akan bersamanya sepanjang itu. Lebih panjang dari itu.
Karena sesungguhnya, bahagia itu bukan selalu soal bisa tertawa keras, tapi tentang punya satu tempat pulang yang tak akan pergi saat kamu lelah.
Dan jika tak ada tempat lain...
biarlah aku jadi tempat itu.
Posting Komentar