Kadang, aku suka buku ini. Di dalamnya ada aku. Menceritakan kisah cinta tentangku bersama seorang puteri.

Aku ini pangeran dari negeri kerajaan 'Bahagia', dan puteri itu, dari kerajaan 'Cinta'. Konon, memang hanya dua itu yang harus ada untuk menjalani sebuah kebersamaan yang tak lekang. Mungkin berawal dari penulis buku ini yang ketika mendengar cerita dari teman-temannya tentang keraguan cinta mereka, penulis buku―yang menciptakan tokoh aku ini, selalu bertanya, "Apa kamu jatuh cinta padanya? Apa kamu bahagia bersamanya? Itu dua pertanyaan yang membutuhkan jawaban, 'iya'. Kalau satu saja, benar-benar satu saja ada jawaban yang 'tidak', berarti sebaiknya hentikan saja."

Kalau kamu baca kisahku di sini, kamu akan melihat aku bahagia. Kerajaanku memang tak semakmur kerajaan 'Cinta'. Tapi kami menerima apa pun dengan rasa syukur yang kadang, bagi kerajaan lain, kami berlebihan. Menerima hujan deras, kami bersyukur tidak terkena badai. Pun ketika ada badai, kami bersyukur, bisa saja dampaknya lebih buruk. Begitu terus. Dan kami, akan tetap tertawa. Bekerja, iya. Memperbaiki apa-apa yang dihancurkan, iya. Kami sedih, iya. Tapi sebentar. Lalu kami tahu bahwa apa pun yang terjadi, kami akan baik-baik saja. Jadi, kami akan membuat segala sesuatu menyenangkan ketika memperbaiki apa yang badai hancurkan. Kami akan bercanda, menari, tertawa, bersenang-senang. Iya, kami selalu bahagia.

Kalau kamu baca kisahku di sini, kamu akan melihat aku bahagia. Bagaimana tidak, aku dijodohkan oleh penulis ini dengan puteri kerajaan 'Cinta' yang kecantikannya bahkan terkenal lebih cantik daripada puteri kerajaan 'Sempurna' atau kerajaan 'Jelita'. Dan kerajaan ini juga menyenangkan. Mereka penuh senyum, saling menyapa hangat, bekerja dengan semangat karena mencintai apa pun yang dikerjakan. Kadang, bagi kerajaan lain, kehangatan kerajaan ini, keterlaluan. Karena meski telah diserang oleh kerajaan 'Selingkuh', mereka tetap memaafkan. Bukan berarti mereka menjalin kerja sama dengan kerajaan itu. Mereka hanya memaafkan. Atau kadang, mereka tidak peduli dengan keadaan kerajaan 'Biasa' dan kerajaan 'Bukan Siapa-Siapa'. Bagi mereka cinta ya cinta. Kalau mencintai dua kerajaan itu, mereka tetap akan bekerja sama. Apa pun keadaan kerajaan itu, entah kaya entah miskin, entah terkenal entah biasa. Tidak memandang apa-apa kecuali cinta. Sederhana. Iya, mereka selalu penuh cinta.

Tentang Ayah dan Ibuku, keduanya saling mencinta. Ayahku asli dari kerajaan 'Bahagia', sementara ibuku dari kerajaan 'Bijaksana'. Jadi sedikit banyak, ibu selalu memberi petuah-petuah yang menurutku bijaksana, seperti, "Jika kamu menginginkan dan merasa nyaman, lalu tidak ada yang dirugikan, lakukan saja." Atau seperti, "Karena bagaimana pun juga, apa pun yang terjadi, semuanya akan baik-baik saja. Selalu ..." Masih banyak lagi dan aku suka segala sesuatu yang dikatakan Ibu. Karena itu, aku bertambah bahagia.

Iya, dalam cerita di buku ini, aku bahagia. Sampai suatu ketika, aku menyadari sesuatu. Sesuatu yang selalu memperhatikanku sangat dalam sampai mengetahui hampir segala sesuatu tentangku. Cinta gadis yang sedang membaca buku ini. Iya, gadis cantik berkulit putih yang membaca buku ini. Dia sampai membaca berulang semua bab yang aku ada di sana. Seperti mencintai secara diam-diam. Aku melihat dia menjalaninya dengan menyenangkan.

Buku cerita tentangku ini, selalu dibawa gadis itu ke mana pun. Ada di mobil hitamnya, dibawanya ke puncak gedung, ke sebuah tempat pancuran, ke tempat makan biasa, apalagi di kamarnya. Dia akan menyempatkan diri membaca. Berulang-ulang bahkan ketika ada bagian tentangku.

Aku merasa, ketika ada bagian yang bercerita tentang puteri dari kerajaan 'Cinta' itu, gadis ini cemburu. Seperti berkata, 'Kamu sedang tersesat, ke sini saja, dan aku akan menuntunmu'. Padahal, aku dan puteri itu, karena keadaan kami sebagai pangeran dan puteri, membuat kami susah bertemu. Terlalu banyak hal-hal yang bersifat protokoler yang harus dijalani. Pengawal-pengawal, ijin-ijin, ah, segala sesuatu tentang itu. Tetapi, tetap saja, penulis buku ini, menuliskannya dengan indah. Membuatku tertawa, 'Indah dari mana?'

Dan gadis itu, tetap saja seperti kekurangan oksigen tiap kali membaca ada hubungan antara aku dengan puteri itu. Bahkan ketika kami berdua tidak bertemu karena protokoler-protokoler menyebalkan tak punya perasaan, aku tetap saja melihatnya tertunduk lesu. Hanya karena di situ ada cerita bahwa aku mengirimi puisi pada sang puteri melalui kurir istana pun, dia benar-benar merasa cemburu. Dia akan segera menutup buku, mengambil nafas, lalu beberapa menit kemudian baru membaca buku itu. Tidak lupa, sebelumnya dia menekuk kertas di halaman itu, agar ketika membaca lagi, dia bisa melewati halaman itu. Entah kenapa, rasanya sangat menyenangkan dicintai seperti itu.

Lalu pada suatu ketika, tangisnya mengalir begitu saja. Dia sampai terisak. Air matanya keluar hanya karena dalam cerita itu aku sakit sampai tidak bisa berdiri. Aku hanya mendengarnya berkata pelan, "Kalau saja aku di situ, aku yang akan merawatmu. Memastikan kamu minum obat dan makan secukupnya." Aku trenyuh. Merasa berharga sekali untuk dicintai. Rasanya seperti ingin sekali aku keluar dari buku ini dan menemuinya, lalu mengatakan, ‘Hei, ini hanya sebuah cerita.” Sayangnya―iya, sayangnya, cerita itu tentangku. Jadi ketika aku sakit, aku memang benar-benar sakit.

Kalau saja dia tahu, aku juga akhir-akhir ini menyadari bahwa cintanya nyata, meski kepada tokoh dalam sebuah buku. Tiba-tiba, aku merasa jatuh cinta juga kepada gadis ini. Ah, jangan bilang cintaku ini fiksi meskipun aku memang benar-benar fiksi.  Ini nyata. Benar-benar seperti gempa. Selalu menunggu dia membuka buku tentangku ini dan berbincang denganku. Entah dia melakukannya sambil tidur, sambil duduk, atau bahkan makan nasi goreng maupun mi goreng instan favoritnya. Atau juga dia membacanya setelah membaca komik lucu favoritnya sambil mendengarkan lagu cinta.

Jika ada yang bertanya kenapa aku bisa jatuh cinta, barangkali aku akan menjawab, "Karena aku merasa, gadis ini ingin menghadirkan bintang-bintang di mataku, membuatnya bercahaya meski digeluti malam. Karena aku merasa, aku dibutuhkan dan didamba seorang perempuan. Perasaan yang tidak hadir ketika aku dicegat protokoler menyebalkan untuk bertemu puteriku hingga semakin terbiasa dengan ketidakbersamaan. Karena aku merasa, dia tak ingin melihatku terluka dan mencoba untuk menawarkan pelukan hangat dari dinginnya sepi yang seringkali memelukku tanpa permisi.”

Aku ingin keluar dari buku ini, menemuinya, dan mengatakan cinta. Sederhana.

Pada suatu ketika, dalam cerita di buku ini, aku merasa gundah luar biasa. Entah apa yang dikatakan penulisnya, aku lupa. Yang jelas ketika itu, gadis ini hanya memeluk buku ini, dan seperti bergumam, “Tidak apa-apa. Kamu akan baik-baik saja di sini, bersamaku. Tidak apa-apa, aku akan memelukku dengan pelukan terhangatmu dan menemanimu menghadapi semuanya. Tidak apa-apa, aku akan menemanimu dalam keyakinan bahwa aku akan menangkapmu kapan pun ketika kau jatuh. Untuk memastikan kamu baik-baik saja.”

Kalian tahu, aku ingin keluar dari buku ini, menemuinya, dan mengatakan cinta. Sederhana.

Kadang juga, dia akan berlama-lama membaca bagian di mana halaman itu berisi kegiatan aku seluruhnya. Menaiki kapal misalnya, berburu di hutan, atau sekedar makan sekerat roti dari gandum di meja. Aku pun mencoba mengunyahnya pelan, membuatnya berlama-lama, entah bisa entah tidak. Entah muncul tulisan apa di buku ini. Aku hanya suka ketika dia tersenyum ketika membaca bagian-bagian di mana ada aku ini.

Atau pada suatu ketika, aku sedang bercerita tentang mimpiku kepada sahabatku atau dayang-dayang kerajaanku. Dan gadis itu akan berbinar. Seperti membayangkan sedang bersamaku untuk meraih mimpi itu satu per satu. Menyenangkan? Ah, sangat!

Dan ketika dia menaruh buku ini di sampingnya ketika tidur, aku merasa waktu berhenti. Seperti ada special efek di dalam mataku. Sungguh menyenangkan ketika melihat gadis cantik itu tertidur dengan pulas. Seperti …, ah aku tidak bisa menggambarkannya. Yang jelas, aku terpesona. Lebih terpesona daripada ketika aku memandang senja dengan secangkir teh di udara terbuka.

Aku ingin keluar dari buku ini, mengecup keningnya, dan menjaga lelapnya sampai dia terjaga. Sederhana.

Sepertinya memang aku sedang jatuh cinta. Memang, aku tidak akan bisa membuatkan Taj Mahal untuk dia. Atau membuatkan seribu arca dalam candi dalam semalam seperti yang dilakukan Bandung Bondowoso kepada Roro Jongrang. Aku juga tidak akan mengerahkan pasukan untuk membunuh orang yang di sekitarnya seperti yang dilakukan Ken Arok ketika membunuh Tunggul Ametung karena terpesona kecantikan Ken Dedes. Aku hanya jatuh cinta. Itu saja.

Aku ingin keluar dari buku ini, menemuinya dan mengatakan rindu. Sederhana. 

Karena sebenarnya, entah sengaja entah tidak, rinduku sudah berkali-kali menguadratkan diri. Iya, aku bisa melihatnya. Iya, dia bisa mengetahui keseharianku. Tapi aku ingin menyentuh kulitnya. Merasakan betapa kulitnya bercahaya karena cinta. Aku ingin matanya setatap dengan mataku. Merasakan hangatnya yang lebih hangat daripada sekumpulan matahari yang bercahaya. Aku ingin berbicara kepadanya tentang segala hal yang biasa saja atau bahkan tentang segala hal yang luar biasa.

Ketika aku mengatakan ini kepada seorang sahabatku secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui penulis buku ini, sahabatku mengatakan aku gila! Meninggalkan kehidupan istana? Meninggalkan puteri yang cantik jelita? Meninggalkan segala hal yang bisa dinikmati seorang pria?

Aku hanya diam. Ini ciptaan penulisnya. Istana? Iya, memang. Kalau aku keluar dari buku ini dan menemuinya. Aku pasti akan kehilangan semuanya. Tidak apa. Aku bisa bahagia dalam keadaan apa pun. Aku akan mencangkul sawah, aku akan menggotong batu-batu, aku akan bekerja sebagai kuli, tidak apa. Aku bisa. Aku tetap akan bahagia.

Aku masih diam. Ini ciptaan penulisnya. Puteri yang cantik jelita? Iya, memang. Tetapi itu hanya sekali bertemu dengannya. Setelahnya? Pengawal dan peraturan istana membuat jurang yang lebih jurang dari batas semesta. Lalu apa? Kalaupun bisa bersama apa aku terus terkekang seperti ini. Tidak bisa bebas ke mana-mana? Dia mungkin bukan seorang puteri. Karena dunianya sudah sangat jarang ada puteri dan pangeran. Tapi aku tetap bisa bahagia. Karena aku merasa, dicintai secara sederhana tapi merasakan kehangatan yang benar-benar tidak sederhana. Lebih dari apa yang bisa diberikan api kepada malam musim dingin. Jadi, aku pasti bahagia.

Aku tetap diam. Ini ciptaan penulisnya. Segala hal yang bisa dinikmati seorang pria? Apa? Sekerat gandum untuk makan pagi dan siang? Aku bisa mencarinya. Apa? Segepok emas dan berlian? Buat apa? Itu hanya perhiasan. Sebuah kebanggaan. Buat apa jika dalam hati saja tidak bahagia. Apa? Rumah besar dengan kamar berjajar? Ah, lebih menyukai rumah mungil tapi penuh cinta.

Aku ingin keluar dari buku ini, menemuinya, dan mengatakan cinta. Sederhana.

Bisa jadi jika aku memang keluar dari buku ini, dia akan kecewa, lalu aku ditinggalkan begitu saja. Kemudian kalian―para penghuni buku ini, mungkin juga penulis buku ini yang pasti marah luar biasa karena aku tinggalkan, akan mengejek dan mengolok, ‘Lihat kan? Kamu tidak diharapkan?’ Lalu kenapa? Tidak mengapa. Aku akan berteriak kepada penulis ini, mengkritiknya habis-habisan.

Aku masih ingat sekali penulis buku ini selalu berujar, bahwa tidak ada yang bisa membuatmu luka kecuali kamu mengijinkannya. Dan aku akan mempraktikannya. Benar- benar mempraktikannya. Sederhananya, kata penulis buku ini, agar tidak terluka, kita harus tahu, bahwa mencintai bukan berarti bersama. Tugas kita ketika mencintai adalah untuk memastikan bahwa orang yang kita cintai baik-baik saja dan dia bahagia. Itu saja. Untuk bersama, itu biar keputusan Allah saja. Jadi, kita tidak akan terbebani dengan bersama. Lakukan saja tugas sederhana tadi.

Aku akan melakukan itu. Aku akan keluar dari buku ini, lalu menemuinya dan mengatakan cinta. Aku tidak peduli jika setelah itu dia mendepakku dan mengatakan aku tidak pantas untuknya. Tugasku selesai ketika aku keluar dari buku ini dan mengatakan cinta. Itu saja. Bersama? Ah, bukan masalah. Yang penting dia baik-baik saja dan dia bahagia. Setelah itu aku akan memastikannya. Setiap hari. Sampai mati.

Aku ingin keluar dari buku ini, menemuinya, dan mengatakan cinta. Sederhana.

Aku tahu, semuanya terkesan tidak mungkin. Aku ini sebuah fiksi yang diciptakan penulis tak punya hati karena membuatku terjebak di buku roman indah ini. Aku hanya wayang yang diperlakukan seenaknya oleh penulis buku ini. Sedangkan dia? Gadis cantik berambut panjang sampai dada yang berkulit putih ini, nyata. Bisa berbicara dan bercanda. Memiliki darah hangat dan mata bercahaya. Tapi bukankah bagi Tuhan tidak ada yang tidak mungkin? Tidak ada berarti tidak ada, bukan? Berarti semuanya bisa, bukan? Dan aku akan meminta Tuhan mengabulkan permintaanku agar keluar dari buku ini. Memohon sangat sambil sembunyi dari penulis buku ini.

Jika suatu hari kamu membaca buku ini dan tidak ada salah satu tokoh utamanya di sana. Maafkan dan jangan memarahi aku. Kamu pasti mengerti jika cinta dan rindu sudah menguadratkan diri, maka apa pun bisa terjadi. Kamu pasti pernah mengalami keinginan dan rasa cinta sedalam ini. Jadi, aku harap bisa dimaklumi.

Gadis cantik di luar ceritaku itu, masih membaca buku ini. Sementara aku, masih mencari celah untuk bisa segera keluar dari buku ini, menemuinya, dan mengatakan cinta. Sederhana.

Categories:

3 Responses so far.

  1. Tiesa says:

    meskipun aku bukan gadis berkulit putih dan berambut panjang itu, tapi aku pun seringkali merasa cemburu pada tokoh wanita di sebuah buku fiksi. di saat yang sama aku pun bisa jatuhcinta setengah mati kepada tokoh lakilaki dalam fiksi itu. gila? pasti!

  2. @Tiesa n @Kunang-kunang: Its my wildest imagination. :D