Kita tidak akan berbicara tentang bagaimana kamu mematahkan hatiku, atau bagaimana lelahnya aku untuk berusaha melepaskanmu setelah itu. Itu tekadku hari ini.

Aku tidak mau membahasnya. Biar aku yang merasakannya, dan menyimpannya. Karena seberapapun aku menjelaskannya, kalau tidak mengalami sendiri kamu toh tidak akan mengerti. 

Sekarang, aku mengambil risiko besar ini, dengan menemuimu. Risiko yang dulu tidak berani aku ambil karena takut hatiku juga bisa kembali kamu ambil. Tetapi, kali ini aku sudah siap. Karena meski hatiku sudah melepasmu lama, tetapi pikiranku baru saja bisa melakukannya. Jadi, ini, aku di sini. Menguji mata, hati, dan pikiranku untuk menemuimu kembali. 

Tentu saja, bukan aku yang memintanya, Aku tidak akan meminta bertemu, karena kamu yang melepasku. Dulu, aku sudah pernah mengemis untuk bertahan, hal yang aku sesali kemudian. Jadi, aku tidak akan kembali melakukan kesalahan yang sama dengan memulai lebih dulu memintamu untuk bertatap muka.

Kamu masih seperti dulu, gemukan sedikit sekarang, tetapi karaktermu tidak berubah.  

Kamu tahu, kamu masih istimewa. Aku tidak bisa berbohong tentang itu. Semoga keistimewaanmu itu tidak membuatku buta hari ini atau setidaknya aku akan berusaha mati-matian agar aku tidak buta.
Jadi aku di sini. Setiap kamu tertawa, dan mataku nyaris berbinar melihatnya, aku akan mengingat betapa dulu kamu sering membuatku terluka. Setiap kamu membuatku tertawa, dan dadaku berdetak lebih kencang dari biasanya (seperti dulu. Dulu ketika kamu membuatku jatuh cinta), aku akan mengingat betapa sering kamu meminta maaf, tetapi kemudian melakukan kesalahan yang sama.

Dulu kalau aku melihatmu dari jauh saja, aku bisa merasa itu rumahku. Karena kenyamanan yang kucari adalah ketika bersamamu. Apalagi kalau sedekat ini, hanya dibatasi meja cafe kecil ini. Sekarang, mungkin masih ada perasaan seperti itu, kenyamanan itu. Tetapi, berulang kali pula aku menepisnya. Ini hanya pertemuan biasa. Aku harus perasaanku, tetapi bukan silaturahimnya. Membatasi pertemuanku, tetapi bukan pertemanannya. Berat awalnya, tetapi aku sudah bisa melakukannya.

Semua baik-baik saja. Saling bercerita, menanyakan kabar keluarga, bercanda. Aku menikmatinya. Aku juga mulai merasa bahwa ya, aku memang sudah melepasmu. Karena melihat seistimewa apapun kamu di depanku, perasaanku sudah biasa saja. Aku berhasil memadamkan setiap percikan apa saja yang bisa membuatku kembali jatuh cinta dengan begitu mudahnya. Tidak seperti dulu, di mana mendengar namamu disebut saja, bisa seharian aku tidak lupa. 

Lalu kamu membuat kesalahan terbesarmu hari ini, di pertemuan kita ini.

“Masih ada rasa itu? Untukku?” katamu.

Aku tersenyum saja.

“Kalau masih ada, bisa kita kembali seperti dulu?” tanyamu lagi.

Aku ingin marah begitu saja dengan tiba-tiba. 

Jadi ini? Ini maksud kamu mengajakku bertemu? 

Salah satu momen paling berat dalam hidupku adalah melepasmu. Sekarang, apa kamu berharap bisa kembali, untuk kemudian kamu bisa pergi lagi? Dan aku harus berjuang untuk merelakanmu lagi? Seperti dulu, dengan kusutnya hidupku?

Aku pernah sedemikian terpuruk sampai berusaha mengusir lukanya dengan bekerja sampai malam, jalan-jalan, makan apa saja, dan banyak hal lain yang kamu pasti tahu itu. Sampai teman-temanku merasa kasihan dan bertanya tentang ‘usaha pengalihan’ku ini, “Sampai kapan?”

“Sampai aku bisa untuk tidak merindukannya lagi.”

Pernah tidak kamu mengalami seperti aku? Dari aku bangun sampai aku tidur lagi, kamu terlalu sering melintas tiba-tiba. Berharap dan menunggu, siapa tahu kamu menyadari kesalahanmu dan kembali kepadaku. Tetapi apa pedulimu? Kamu sudah bahagia di sana, lalu dengan orang yang pernah bersamamu pun kamu lupa. 

Sering juga ada banyak hal yang ingin aku bicarakan, banyak pertanyaan kenapa yang ingin aku teriakkan, tetapi aku terlalu takut mengatakannya karena khawatir kamu tidak mau mendengar?  

Pernah tidak kamu merasakan betapa kamu ingin bertahan, tetapi dalam hati kecilmu sendiri sudah tahu bahwa itu tidak ada gunanya karena kamu yakin orang yang dipertahankan tidak akan datang? Kamu menunggu meski tahu itu tidak ada gunanya karena kamu sendiri pun tahu kalau yang kamu cintai sudah tidak lagi mencintaimu?

Kalau tidak pernah, jangan mengira kembali itu mudah. Semua sudah tidak sama lagi. Gelas yang pecah, meski diperbaiki, tidak akan menjadi gelas yang sama lagi. Bekasnya akan selalu terlihat, seperti hatiku yang akan terus mengingat. 

Dan jangan berkata, lupakan saja yang dulu, kamu sudah berubah, dan menyesali perbuatanmu waktu itu. Lebih baik kita pikirkan yang sekarang. 

Bagaimana bisa lupa kalau sakitnya saja masih ada? 

O, jangan salah. Aku tidak membencimu, dan aku sudah memaafkanmu. Tetapi, aku tidak bermaksud lupa. Jadi, rasa sakit itu tidak aku bunuh semuanya, aku sisakan sedikit agar aku terus mengingat kalau aku pernah merasakannya. Suatu hari, kalau aku bersama seseorang dengan tanda yang sama, aku harap aku mengenalinya dan tidak melakukan kesalahan yang sama. Aku mengikhlaskan luka itu, tetapi aku belajar untuk tidak mengalaminya lagi.

Lagipula kalau aku kembali terus apa? Jangan-jangan setiap hari aku akan terus bertanya-tanya, apakah kamu masih akan mencintaiku besok hari? Apakah esok kamu tidak akan meninggalkanku lagi? Apakah ini hanya sementara sampai kamu mendapat bahagia lainnya?

Kamu terlalu lama pergi, terlalu sering melukai. Kamu bukan orang yang pantas untuk dipertahankan, maupun diterima kembali.

Tetapi, aku tidak akan mengatakannya. Tidak perlu dan tidak ada gunanya. Aku hanya tersenyum dan berkata, “Sudah malam, sudah waktunya pulang. Aku dulu sudah pernah melepaskan, aku tidak mau melakukannya lagi untuk orang yang sama.”




Categories:

19 Responses so far.

  1. Selalu suka sama tulisannya mas.. Keren

  2. irmasenja says:

    Touching,.... keep writing :)

  3. Intan says:

    serupa seperti yang aku alami.
    dan benar. semoga ketika bersama yang lain dan indikasi serupa muncul, saa dapat mengenalinya hingga tidak melakukan kesalahan yang sama.

  4. Unknown says:

    Tulisannyaaa :(
    Masukkan ke buku selanjutnya, atau kalau enggak residunya cetak lagii.

  5. Unknown says:

    Tulisannyaaa :(
    Masukkan ke buku selanjutnya, atau kalau enggak residunya cetak lagii.

  6. ariel_ung says:

    tulisannya selalu bikin hati trenyuh.......
    ditunggu tulisan2 selanjutnya

  7. yang ini bikin nangis soalnya baru banget ngalamin ini :((

    "Salah satu momen paling berat dalam hidupku adalah melepasmu. Sekarang, apa kamu berharap bisa kembali, untuk kemudian kamu bisa pergi lagi? Dan aku harus berjuang untuk merelakanmu lagi? Seperti dulu, dengan kusutnya hidupku?"

    ini.. berat T^T

  8. klo beneran kejadian pasti berat banget ya..

  9. nuna ima says:

    Pas bangett!!.
    Aku hrs melepasmu.
    Kamu bukan orang yang pantas untuk dipertahankan dan untuk diterima kembali.
    Terima kasih sudah menunjukan who you really are.
    It's over between us....

  10. Joel Alta says:

    Selalu menikmati tiap tulisan mas Ara. Tapi dah jarang ya nulis di blog

  11. Unknown says:

    teringat lagi dengan bacanya cerita diatas..aku suka.jempol

  12. Unknown says:

    dan saya merasa tertampar dengan tulisan ini, ada wanita yang sedang berjuang mati matian untuk saya, dan saya akan menyesal jika mengabaikan nya

  13. Ayuaara says:

    Nggak sanggup berkata apa-apa. :")))

  14. Anonim says:

    TT TT

  15. Trimakasih untuk tulisannya mas

  16. Unknown says:

    Tulisan Anda seperti diary buat saya. Apa yang saya rasa, alami, tertuang disini. Luar biasa.

  17. Ochakyo says:

    Suka sama isi blog ini.. Bagus-bagus kata katanya..

  18. Unknown says:

    Kepingan kecil yang hampir semua makhluk yg bernyawa pernah alami. Kejadian pahit yang dibungkus dengan kata2 manis. Nice writes!! Please keep going to write
    Semangat!!