Kamu ganteng sekali mengenakan kemeja itu. Aku membelikannya karena tahu itu warna yang pas sekali dengan kulitmu. Kalau boleh jujur, sebenarnya, aku sudah ingin memberikannya sejak lama, sejak aku melihatnya di distro itu. Selalu membayangkan seperti apa kalau kamu yang mengenakannya. Dan akhirnya hari ini kesampaian juga.

Sayangnya, kamu sudah harus pulang, malam ini juga. Tapi tidak mengapa, setidaknya sekarang ini, aku masih bisa berbincang denganmu lebih lama. Karena kalau ada yang bertanya apa yang bisa membuatku bahagia, aku akan menjawab, ya seperti ini. Berdua denganmu, berbicara apa saja. Meluangkan waktu dengan melihatmu dan mendengar suaramu selama aku bisa.


Semuanya menyenangkan, sangat menyenangkan. Dan mungkin akan terus menyenangkan kalau kita tidak teringat bahwa bisa jadi inilah akhirnya. Bisa jadi, setelah ini, aku tidak akan bisa menjemputmu lagi atau mengantarmu ke stasiun kereta ini. Bisa jadi, suaramu ini adalah suara yang akan aku rindukan sekali. Terutama sejak mamaku memintamu untuk menjauhiku.

Kita tidak ditakdirkan bersama, katanya. Terlalu jauh berbeda. Kamu Jawa tulen, aku juga tulen China. Kamu pergi ke Masjid, aku pergi ke Gereja. Ini bukan rasis atau SARA. Ini sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Aku tidak akan bersembahyang di Masjidmu, dan kamu pun tidak akan bersembahyang di Gerejaku. Untuk apa diteruskan jika sudah tahu hasilnya kalau kita berdua tidak akan ke mana-mana. Begitu bukan, kata mama?

Itu pahit. Dan sakit. Tapi mama benar. Kamu tahu itu, aku tahu itu. Orang-orang bisa berkata bahwa  pernikahan beda Agama itu tidak mengapa. Tapi kita sama-sama tahu, bahwa tanggung jawab terhadap Tuhan, jauh lebih besar terhadap tanggung jawab kepada manusia. Kenapa harus mengorbankan agama hanya karena cinta kepada manusia?

Mungkin di luar sana, ada banyak yang tidak sependapat dengan kita, dan mungkin mendukung kita agar bersama saja. Peduli apa tentang KUA? Menikah di luar negeri saja, atau kumpul kebo sekalian. Cinta harus melepaskan diri dari agama. Seharusnya cinta membebaskan. Tidak peduli agama, warna kulit, atau usia. Mungkin seperti itu yang akan mereka katakan kira-kira.

Bisa jadi mereka benar. Cinta seharusnya membebaskan. Tapi bukankah kebebasan pun harus ada batasannya? Semua orang bebas berkendara, tapi harus mematuhi lampu merah. Kenapa? Agar tidak ada kecelakaan. Semua menuntut kebebasan mutlak, kenapa tidak telanjang saja di jalanan seperti orang gila? Itu bebas, tapi itu tidak benar. Bagaimanapun juga, tidak ada yang namanya kebebasan mutlak. Karena kebebasan mutlak malah justru bisa mencelakakan. Kebebasan pun memang sudah seharusnya ada batasannya agar tidak merusak, baik merusak kita, maupun orang-orang di sekitar kita.

Salah satu dari kita bisa saja berkorban, meninggalkan kepercayaan kita, agama kita (tetapi sepertinya tidak ada satu pun dari kita yang mau melakukannya). Dan kalaupun ada (benar-benar kalaupun ada) salah satu yang rela melakukannya, apakah keluarga kita rela? Berarti kebahagiaan jika kita bersama, harus dibayar dengan luka keluarganya? Luka karena tidak rela bahwa kita menjauh dari mereka? Aku tidak mau. Aku pun tahu kamu juga tidak mau. Pada satu masa, bisa saja kita tertawa, bersenang-senang, tapi keluarga kita tidak rela

Dan, di sinilah kita. Duduk berdua, menunggu kereta. Kereta yang tidak hanya mengangkut tubuhmu, tapi juga akan mengangkut perasaan kita untuk selamanya.Untuk membawa dan menghilangkan 'kita'.

Pada kenyataannya, sampai sekarang, kita masih sanggup untuk tetap saling berbicara, tertawa, meski luka kita terlalu dalam sejak semalam. Bisa jadi kita memang pandai berpura-pura atau memang sedang berusaha mati-matian untuk mencoba menikmati kebersamaan (yang mungkin) terakhir kalinya.

Sampai akhirnya, tiba-tiba kita terdiam, saling memandang. Dan saat itu juga, sakitnya bertubi-tubi datang. Peristiwa tadi malam menyerang ingatan seperti samurai yang terbuat dari kata-kata. Mengobrak-abrik kebersamaan yang baru saja kita nikmati bersama.

Aku tidak tahu apa benar waktu bisa berhenti, tetapi aku merasakannya sekarang ini. Waktu seperti berhenti. Dadaku sesak, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Karena aku tahu, sebentar lagi keretamu tiba. Sebentar lagi kamu kamu tidak akan di sini, di depanku, menemaniku. Sebentar lagi. Sebentar lagi.


Aku ingin bersamamu lebih lama. Selamanya kalau bisa. Menikmati tawamu seperti yang kita lakukan barusan tadi. Menikmati gandengan tanganmu, seperti yang kamu lakukan tadi. Menikmati senyummu, seperti yang baru pertama kali aku bisa memperhatikannya benar-benar, tadi.

Kita masih terdiam. Masih saling memandang. Dadaku bertambah sesak. 'Samurainya' kini menghabisi hati. Karena tiba-tiba saja dadaku terasa perih sekali.

Kamu mengangkat tanganmu seperti gerakan lambat (dadaku masih sesak), tersenyum dengan kehangatan mata yang pasti akan sangat aku rindukan (dadaku bertambah sesak), lalu mengelus kepalaku (mataku panas).

Tanganku gemetar. Ada sesuatu di dalam dadaku yang ingin kuledakkan.

"Kamu baik-baik saja ya di sini, jangan lupa kasih kabar. Jaga diri."

Pertahananku rubuh. Aku memelukmu, erat. Menyembunyikan mukaku ke dadamu dan menangis sesenggukan di sana. Aku tidak mau kamu pergi. Rasakan sakitku, ada sesuatu yang menendang-nendang dadaku sampai nyeri.

Aku tidak bisa melihat apa-apa karena mataku ditutupi air hangat yang tidak bisa aku tahan. Terus mengalir keluar. Aku hanya merasa kalau sepertinya kamu menengadahkan kepalamu. Menahan tangis juga, mungkin. Lalu tanganmu melingkar. Entah perasaanku saja, atau bagaimana, tapi kamu belum pernah memelukku seerat ini. Seolah-olah melepasnya pun kamu tidak sudi. Mendekapku erat, lalu mencium rambutku. Badanmu gemetar. Kita berdua gemetar.

Sepertinya memang waktu sedang berhenti. Seharusnya waktu berhenti pada saat aku berbahagia saja, kenapa harus berhenti pada saat seperti ini?

Aku masih memelukmu erat. Merasakan detak di dadamu yang sangat cepat.

Aku ingin menikmati pelukanmu lebih lama.

Aku ingin kamu tetap di sini saja.

Aku mengucap doa seperti mantra meski aku tahu, itu sulit dikabulkan, "Aku ingin keretamu terlambat atau tidak pernah datang sekalian."

...

Categories: ,

14 Responses so far.

  1. Unknown says:

    ah jadi teringat kisah yg lalu :')

  2. Suci Mine says:

    baca ini bkin mataku berkaca-kaca dan dadaku sesak..
    aaaahhhh.... mas namara
    dalam banget >_<

  3. jadi pengen nangis sambil dipeluk..
    :')

  4. Anonim says:

    Nice :')
    moments we have always life in our heart
    just open it and it's always there to make tears or a smile :)

  5. Unknown says:

    Jadi tringat bbrapa teman yg mengalami hal yg sama..
    Kata2.y cntik skali kak..
    Susah untk tdk menangis
    T.T

  6. kelesa says:

    Kadang waktu setahun pun belum cukup mengobati luka itu
    Aku tahu tepat rasanya kak :')

  7. Anonim says:

    ini bener bener mirip posisi saya sekarang. Hanya beda setting. Seandainya dia tau kisah ini mungkin dia juga akan menangis seperti saya mengenang semua hal yang sama dlm cerita ini

  8. Unknown says:

    Duh...saya pernah mengalami cinta beda agama juga. Cowok saya kebetulan cina juga, tapi dia mengalah dan sekarang seagama dengan saya. Tapi sekarang baru ngerti meskipun seagama gak menjamin bisa terus bersama-sama :')

  9. huhhuhu mas namara ini tuh ceritanya aku banget, pacaran beda agama sama orang cina :((