Masih ingatkah dulu, bagaimana aku selalu memperhatikan detail tentangmu? Seperti sepatu apa yang kamu pakai dalam foto itu, atau tas apa yang kamu kenakan, atau kamu menggunakan bross kecil apa di baju kantormu? Ya, hal-hal seperti itu. Masih ingatkah itu?
Atau aku mengenalimu dari jauh, lalu mengejarmu hanya untuk menyapamu dan berbincang sebentar setelah kemudian mengucapkan, “Selamat tinggal. Sampai bertemu lagi?”
Atau juga pada suatu ketika aku mengirimi lagu dari radio secara sembunyi-sembunyi. Aku menggunakan nama “Hujan” ketika itu. Dan lagu yang sering kukirim adalah “You’ll be Safe Here” dari Rivermaya. Aku tidak peduli kamu mendengar radio atau tidak, aku hanya ingin mengirimimu lagu itu.
Ya. Aku selalu melakukannya. Aku selalu mengingat detail semua tentangmu, sekecil apa pun itu. Dulu. Sekarang pun masih ingat. Dan kalau kamu bertanya kenapa bisa begitu, jawabanku mungkin akan sederhana,
Itu bukan karena ingatanku yang kuat. Itu namanya mencintaimu.
Lalu datang lelaki itu. Ya. Lelaki itu. Lelaki tampan yang tak berhenti kamu ceritakan setiap hari itu. Kamu menceritakannya dengan lancar dan tanpa bosan. Mengagumkan bagaimana kamu mengingat detail tentangnya, persis seperti aku mengingat detail tentangmu.
Dan tawa berbahagia ketika kamu bercerita tentangnya itu, aku harusnya mendapat piala Oscar karenanya. Itu mungkin akting terbaikku selama ini. Sayangnya, kamu selalu membaca mata dan tawaku. Kamu tidak pernah membaca hatiku. Jadi, yang kamu lihat adalah yang kamu percayai. Salahku juga, aku tidak pernah punya nyali mengatakan apa pun kepadamu. Aku bodoh? Tidak juga. Sepertinya kita berdua bodoh. Karena seharusnya kamu tahu perasaanku. Setidaknya jangan bercerita tentang lelaki “mengagumkanmu” itu di depanku. Ya, setidaknya. Tapi mungkin kamu memang bodoh. Kamu pintar dalam segala hal tapi sangat bodoh ketika membaca hati seseorang yang di depanmu.
Ya, singkatnya kamu jatuh cinta pada pria ‘mengagumkan’mu. Jatuh cinta secinta-cintanya. Sampai siang malam yang kamu ceritakan adalah dia. Di depanku. Biar kuulang, di depanku. Kamu pasti tidak pernah tahu rasanya bukan? Ya, aku suka tawamu. Ya, aku suka binar matamu ketika berbahagia. Ya, aku suka cerita-ceritamu. Kecuali yang ini. Kecuali saat kamu bercerita tentang lelakimu ini. Aku mulai membenci tawa, binar bahagia matamu, dan cerita-ceritamu. Ya. Membenci ketiganya. Tapi aku akan bertahan melihat dan mendengarnya, untukmu. Hanya untukmu.
Pada momen itulah, aku memutuskan untuk berhenti mencintaimu. Berhenti memikirkan tentangmu. Berhenti memperhatikan setiap detail tentangmu. Berhenti melihat akun microbloggingmu. Berhenti mencoba menyapamu ketika melihatmu dari dekat atau jauh. Ya, aku berhenti.
Anehnya, sepertinya semesta sedang mempermainkanku. Kamu bisa tiba-tiba muncul begitu saja di perpustakaan favoritku atau kafe tempatku biasa meminum secangkir kopi dan kue tiramisu untuk menghabiskan waktu memandang orang-orang yang berlalu lalang tergesa-gesa pulang kerja. Lalu kamu akan duduk di sana, berlama-lama. Lagi. Bercerita tentang mengagumkannya lelaki itu. Lelaki itu romantic, lelaki itu dewasa, lelaki itu lucu, lelaki itu pintar menyanyi, lelaki itu…, lelaki itu…, lelaki itu…
Sial. Tidak ada kata lain selain kata ‘lelaki itu’ dalam sebuah nama? Ha?
Tapi aku diam saja. Mendengarmu dengan perhatian sepenuh-penuhnya. Ikut tertawa ketika kamu tertawa. Membalas timpalanmu dengan pertanyaan, “Terus?” atau “Ah, menyenangkan sepertinya.”
Lalu sesuatu menyadarkanku. Di sana. Tepat di sana. Pada saat kamu bercerita dan tertawa, lalu perhatianku penuh kepadamu. Ketika itu aku tidak memedulikan apa yang kamu ceritakan. Aku hanya melihatmu. Melihatmu dengan perhatian yang seperti suara dan pemandangan apa pun tidak bisa mengalihkanku darimu. Perhatian yang kalaupun ada ledakan di belakangku, aku tidak akan menolehnya. Di sana. Aku sadar, aku memang sudah jatuh cinta. Terlalu dalam. Sangat dalam. Dan menyadari aku akan kesulitan untuk jauh darimu karena aku suka tawamu itu. Aku suka ketika bibirmu bergerak-gerak bercerita itu. Aku suka ketika tanganmu mengibaskan rambutmu yang tergerai. Aku suka ketika kamu melirik ke suatu tempat ketika ada suara yang mengganggumu. Aku suka cara kamu mengetik di handphonemu. Aku suka cara kamu meminum dan mengunyah. Hei, aku bahkan suka kecerobohanmu. Ah, ya Tuhan. Aku sudah gila.
Dan ketika kamu memunggungiku, aku selalu membenci pemandangan itu. Rasanya terlalu hening bahkan untuk bahasa sebuah punggung. Seperti dongeng kecil yang sedang bercerita dengan bisik serupa desis, bahwa kamu akan pergi dariku sejauh-jauhnya dan tidak akan kembali lagi. Aku benar-benar membenci itu. Sayangnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu. Jadi aku harus menerimanya, seperih apa pun itu.
Lalu ditambah kalau sebelumnya kamu sudah mengatakan harus segera pergi karena ada janji dengan lelaki itu.
Apa ini?! Pasar malam nyeri? Kenapa banyak sekali nyeri terjadi dalam satu hari?!
*****
Hari ini aku melihatmu di kafe kecil itu dari balik jendela jauh. Kamu sendirian melamun. Aku ingin menghampirimu tapi kejadian beberapa hari lalu menghentikanku. Ya. Mungkin kamu akan menyiksaku dengan cerita-ceritamu lagi, lalu dilanjut dengan kamu meninggalkanku sendiri hanya karena sudah berjanji dengan laki-laki itu, kemudian berjalan pergi memunggungiku. Sudah. Berhenti melakukan itu.
Aku sudah nyaris berjalan pergi ketika itu. Meninggalkanmu. Biar nanti kamu bercerita dengan orang lain saja, asal bukan aku. Lalu seolah dunia berhenti. Tepat ketika aku akan mengalihkan pandanganku, aku melihat dengan jelas sekali di sana. Tidak ada yang terlalu jauh untuk sebuah air mata. Ya. Aku melihatnya. Sesuatu menetes, mengalir ke pipimu. Berkilauan terkena cahaya lampu.
Mendadak aku merasa nyeri. Lebih nyeri daripada ketika kamu selalu bercerita tentang lelakimu.
Aku pun mendekatimu, duduk di depanmu sambil memesan kopi. Sepertinya kamu sudah menghapus air matamu. Tapi, terlambat. Aku sudah melihatnya tadi. Sejelas aku melihat garis telapak tanganku sendiri.
“Hei! Sedang apa kamu di sini?” katamu dengan senyum lebar dan mata berbinar.
Selalu seperti itu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak memperlihatkannya kepada orang lain. Tapi kamu lupa satu hal, ini aku. Bukan orang lain. Jadi kamu tidak perlu menutupinya dariku.
Berbasa-basi sebentar tentang interior ruangan atau menu apa saja yang enak di kafe itu, tetap tidak bisa mengalihkan pikiranku kepada airmatamu tadi. Mengganggu sekali.
“Ada yang mau kamu ceritakan?” tembakku.
Kamu hanya menatapku sambil mengangkat kedua alis. “Cerita apa?”
“Ini aku. Bukan orang lain. Kamu tidak perlu menyembunyikannya.” Aku tersenyum.
Kamu hanya menunduk. Mempermainkan sendok di cangkir cappuccino-mu dengan mengaduknya. Kita sama-sama tahu gulanya sudah teraduk dari tadi. Itu hanya bahasa untuk, “Sebentar, biar aku mempersiapkan kalimat dulu.”
Setengah menit kemudian, kamu menghembuskan nafas panjang dan bercerita dengan suara berat. Aku benci matamu yang sekarang ini. Layu. Tidak ada cahaya di sana seperti biasanya.
Dia, lelaki ‘mengagumkan’mu itu, memutuskanmu. Alasannya sederhana, dia harus mengurusi proyek yang sedang dikerjakannya. Dan dengan kemanjaan dan rengekanmu untuk terus menemanimu dia merasa kesulitan.
“Bodoh!” kataku dalam hati. Tertuju kepada lelaki itu.
Kamu sudah mencoba mempertahankannya dengan mengatakan akan mengerti dan untuk sementara tidak akan mengganggunya dulu. Tapi sama saja. Keputusannya sudah bulat. Dia harus memutuskanmu.
“Bodoh!” sekali lagi batinku.
Setetes lagi air matamu turun. Sekali lagi jantungku seperti dipukul. Aku tidak berani memegang tanganmu seingin apa pun itu untuk menenangkanmu. Aku juga tidak berani menghapus airmatamu dengan tanganku atau tisu. Seperti itulah aku mencintaimu. Aku selalu takut setiap gerakan sekecil apa pun dariku, terasa salah. Jadi aku hanya berdiri di samping tempat dudukmu dan menyerahkan tisu. Tersenyum dan mengatakan, "Menangislah sepuasmu. Aku akan menutupimu dari orang lain.”
Aku tetap berdiri di sana sambil pura-pura mengamati menu. Sesekali aku melirik ke pelanggan atau penjaga kafe itu untuk memastikan tidak ada yang melihatmu menangis.
Ini adalah dua menit terlama dalam hidupku. Melihatmu menangis seperti itu, membuat waktu benar-benar berjalan sangat lambat. Terlalu lambat. Ini buruk buat mata dan hatiku.
Untunglah kamu segera berhenti, menghapus semua airmatamu dan tersenyum lagi. Aku menatapmu seklias dan tidak berani menatap matamu lagi beberapa saat setelah itu. Matamu masih berkaca-kaca. Aku akan melihatmu lagi nanti setelah sepasang mata favoritku itu bersih dari airmata.
Kamu mengatakan akan menerimanya.
Kamu bohong. Kentara sekali dari kalimatmu yang bergetar. Kamu belum bisa menerimanya. Tidak sekarang. Mungkin nanti.
Kamu menghela napas lagi. Mengaduk-aduk cappuccino-mu lagi lalu mengetuk-ngetuknya ke cangkir.
“Ayo. Kita pergi.” Kataku.
“Ke mana?” tanyamu bingung.
“Ikut saja.”
*****
Aku suka kamu tertawa. Kita ke mall terdekat dan aku mengajakmu ke arena permainan. Permainan yang aku sarankan untuk dicoba adalah sebuah alat yang kita bisa meninjunya sekuat mungkin, lalu ada skornya muncul.
Kamu meninju sekuat-kuatnya. Kamu mengeluh sakit. Hampir saja aku lupa dan reflek memegang tanganmu. Untung aku masih teringat untuk tidak melakukannya.
Aku menyarankan untuk ganti ke permainan lain saja, tapi kamu menolaknya. Setidaknya dua kali bermain itu sampai kamu mengeluh, sudah tidak sanggup lagi.
“Puas…” katamu tersenyum lebar.
Aku paham sekali makna kata dan senyum lebar itu. Aku ikut tersenyum.
Kita lalu beradu melempar bola basket. Aku sebenarnya bisa mengalahkanmu dengan mudah. Tapi untuk kali ini aku akan membiarkanmu menang. Kamu tersenyum kegirangan dan terus mengolokku. Aku tertawa kecil saja sambil menggaruk kepala.
Ketika mencoba balap mobil dan motor, aku juga mengalah. Tidak cukup jauh tentu saja agar tidak terlalu kentara. Aku beberapa kali membalapmu dan kemudian melambatkannya atau sengaja menabrakkannya agar kamu bisa mendahuluiku. Lagi. Kamu menertawaiku.
Permainan lain selalu sama. Kamu lebih banyak menang daripada aku. Tapi aku puas sekali. Puas melihatmu tertawa seperti itu.
Kita berpindah ke counter khusus es krim. Kamu memesan es krim macam-macam di sana. Tenang saja, aku yang traktir, kataku. Kamu makan sepuasnya dengan beberapa wafer. Tidak lupa, kamu terus mengolokku dan tak berhenti bercerita tentang setiap permainan tadi. Bagaimana kamu mendahuluiku, bagaimana melempar bola basket dengan benar, bagaimana menembakkan pistol dengan tepat, dan semuanya.
Di sana. Tepat di sana. Seperti De Javu. Pada saat kamu bercerita dan tertawa, lalu perhatianku penuh kepadamu. Aku hanya melihatmu dengan perhatian yang seperti suara dan pemandangan apa pun tidak bisa mengalihkanku darimu. Di sana. Aku sadar, aku memang masih mencintaimu. Terlalu dalam. Sangat dalam. Dan menyadari bahwa ternyata aku tidak pernah sedikit pun melakukan tawamu seberat apa pun aku mencobanya ketika itu. Ya. Aku masih suka memperhatikan bibirmu yang berceloteh, masih suka gerakan tanganmu mengibaskan rambutmu, masih suka cara mengetik di handphone, masih suka caramu melirik orang-orang di sekitarmu, masih suka caramu meminum dan mengunyah, dan tentu saja tetap suka dengan kecerobohanmu. Seperti itu. Itu, di bibirmu masih ada es krim.
Sepertinya aku akan tetap mencintaimu.
Ya. Mencintaimu sekali lagi. Seperti dulu. Tetap seperti dulu. Hanya saja kali ini aku akan berusaha berterus terang kepadamu ketika sudah siap nanti. Aku tidak mau ada lelaki ‘mengagumkan’ lagi yang mengambil tawamu dari pandanganku. Aku tidak mau ada lelaki ‘mengagumkan’ lagi yang merebut ceritamu. Ya. Biar aku yang melakukannya. Aku akan betah berlama-lama mendengar ceritamu, betah berlama-lama menemanimu. Tidak akan meninggalkanmu sesibuk apa pun aku. Tentu saja ada waktu aku tidak bisa menemuimu. Tapi aku tetap tidak akan membiarkanmu menangis seperti yang dilakukan lelaki ‘mengagumkan’ itu.
Ya. Ini aku.
Mencintaimu sekali lagi.
____
*Pertama kali diposting pada tanggal 22-11-2011
*Pertama kali diposting pada tanggal 22-11-2011
Categories:
fiksi
Hampir nangis kak. hahaha :'D persis dengan kisahku. :)
:D Mungkin karena persisnya itu dek. hihihi
kak, tulisan nya bagus banget. aku paling suka yang ini. indah banget sumpah. mencintaimu sekali lagi. aku sebenarnya udah baca dari minggu lalu tapi selalu gagal post comment via phone jadi baru sempet comment sekarang. aku suka banget nulis, tapi lebih suka baca bacaan bagus kayak tulisan ini :D trus aku tau post ini juga dari UpdateBlog hehehe :) boleh izin share di twitter ku ga kak link post ini?
kak, tulisan nya bagus banget. aku paling suka yang ini. indah banget sumpah. mencintaimu sekali lagi. aku sebenarnya udah baca dari minggu lalu tapi selalu gagal post comment via phone jadi baru sempet comment sekarang. aku suka banget nulis, tapi lebih suka baca bacaan bagus kayak tulisan ini :D trus aku tau post ini juga dari UpdateBlog hehehe :) boleh izin share di twitter ku ga kak link post ini?
-pitacily [http://pitacily.blogspot.com]
Heehe setelah dibaca lagi ternyata ada huruf yang masih salah. Nanti sepertinya harus diedit lagi.
Tentu saja boleh dek. Senang malah. :D
hehehe oke kak, nama twitter ku @pitacily :D aku udah follow beberapa hari yang lalu
nice post..........sahabat jadi cinta, pernah ngalamin.........sekarang dia menjauh dariku, mungkin aku salah. tapi yah beginilah yang terbaik.........tanpa membuat luka yang banyak
Entah kenapa nyesek banget pas baca yang ini, Kak. Mungkin karena lagi ngalamin ya. Hhehe :'D Bagus ^^d
@itacily: siaaap sudah follow :)
@ Anonim:Ya. kadang seperti itulah yang terbaik. :)
@Chocolate: waaa lagi nmgalamin dek? SHINE ON SHINE ON> :)
kereeeennnn aaaaa~~~
mau follow aahh... boleh gaa?? :D
@Maurine: Tentu saja boleh. :)
mencintai sekali lagi. lagi.lagi dan lagi. sampai rasanya hilang dengan sendirinya.
ah, tidak pernah ada kata lelah dalam mencintai.
yaampun ikut hanyut sama cerita ini, ikut nyesek. beberapa kisahnya mirip seperti yang aku alami :'3
aaaaa tulisannya indah sekali kak, waah adakah lelaki seromantis di cerita itu, sepertinya aku ingin memilikinya :D
keren sekali kak :)
Suka banget bacanya.. Menceritakan bagaimana perasaan jatuh cinta dari sisi seorang laki-laki ❤️