Kamu pernah bertanya
apa bahagiaku. Aku ingin mengatakan, “Seperti ini. Seperti sekarang ini. Meluangkan
waktu bersama kamu. Bisa melihat mata kamu yang menyipit ketika kamu tertawa,
atau merapikan rambut panjangmu yang terkena angin ketika pintu cafĂ© terbuka.”
Tetapi akhirnya aku malah mengatakan, “Banyak. Makan yang enak, pergi ke pantai,
menonton film, atau mendengarkan musik yang enak di telinga.”
Mata kamu membesar. Senyummu mengembang lebar. “Ah,
kita sama. Kenapa lain kali kita tidak melakukannya berdua?”
“Bagaimana kalau
jazz? Kamu suka? Ayo kita nonton berdua!” katamu lagi.
Kamu harus melihat
dirimu sendiri ketika mengatakannya, tapi bukan dari kaca matamu sendiri, melainkan dari kaca mata pikiran dan hatiku.
Jadi, kamu tidak lagi sembarangan mengatakan hal seperti itu sambil sumringah
dan alismu kamu naik turunkan. Pasang wajah semenyenangkan mungkin. Karena setiap
kali kamu melakukannya, aku ingin merekam tiap mili detiknya, untuk bekal nanti
malam biar bisa aku setel ulang di ingatanku dengan kecepatan pelan. Sangat
pelan. Sampai aku tertidur. Juga sangat pelan.
“Mana ada konser Jazz di sini.
Java Jazz adanya, itu pun di Jakarta, dan mungkin harus menunggu lama,” kataku.
Dulu, kalau kamu
pernah mengingatnya, kamu selalu menggodaku. Menggoda karena aku selalu gugup
ketika bertemu kamu. Kamu mengira itu karena aku pendiam. Jadi kamu malah
menggodaku. Hobi baru, katamu. Sekarang keadaan sudah berbeda. Aku sudah bisa
mengatasi kegugupanku. Tetapi sebenarnya setiap kamu melakukan hal seperti itu
tadi, aku masih belum bisa mengatasinya, hanya saja aku mahir berpura-pura. Aku
bisa berpura-pura tenang bahkan ketika aku merasa sangat senang melihat kamu
seperti itu.
“Oiya,” katamu sambil
menepuk jidatmu sambil memasang muka konyol seperti biasanya. “Kalau begitu
nonton musik apa ya?”
“Angklung,” sahutku, “di
jalanan Malioboro.”
Kamu terbahak. “Yaaaah,
masak angklung? Di jalanan lagi. Gak ada tempat buat duduknya dong. Gak ada
buat ngopi dan ngemil kentang goreng.”
Aku tersenyum saja. “Mau
gak?”
“Hih!” kamu mendelik.
“Kamu ini gak bisa bercanda sedikit apa. Ngomong kok singkat-singkat. Hih!”
Aku tertawa. Kamu
masih pasang muka cemberut. Nah, gila kan? Bahkan kamu sedang cemberut pun aku
menyukainya.
“Kalau kita melihatnya, kamu akan
senang?”
Lagi. Kamu melakukannya lagi.
Tersenyum di depanku sambil menanyakannya, memasang muka ceria, dan
menaikturunkan alismu. Sial! Kalau kamu terus melakukannya bisa-bisa aku nekat
bilang cinta. Sesuatu yang aku masih takut mengatakannya.
Oya, tentang apa aku akan senang,
aku bahkan tidak perlu memikirkan apa-apa. Kamu pasti sudah bisa langsung tahu
jawabannya dari hanya melihat senyum lebarku dan cara aku memandangmu saja. Lama...
Pada saat aku menulis ini pun,
aku senyum-senyum sendiri sambil mengatakan kepada hati, “Betapa
menyenangkannya…”
“Kalau kamu? Kamu juga akan
senang?” balasku tanpa menjawab pertanyaanmu.
Kamu tersenyum lebih lebar dan
menatapku dengan muka ceria.
Lama...
Categories:
Scenefiction
uuuuuh ikut senyum senyum bacanya, di lanjut dong mas, di bikin jadian gitu~
info yang sngat menarik obat kusta
It is me ii:((