Suatu siang dalam perjalanan menuju kampus, terlintas
keinginanku untuk naik kereta api. Padahal hari-hari biasanya, aku selalu
menaiki angkot D-128 rute Warung silah-Depok yang setia mengantarku sampai
kampus dan aku cukup turun di depan Toko Buku daerah Margonda. Cukup sekali
naik angkot dan hanya membayar Rp2.500, 00.
Tapi entah kenapa tiba-tiba saja saat itu muncul keinginan
di luar kebiasaan. Aku ingin berangkat ke kampus naik kereta api. Pikirku, yah
sekali-kali tak apalah, lagipula aku kuliah jam satu siang dan sekarang masih
jam sebelas. Setengah dua belas aku sampai di stasiun kereta Lenteng Agung.
Bagi orang lain, mungkin hal ini sangat membuang-buang waktu.
Sampai stasiun,
menunggu kereta. Padahal kalau aku mau lebih cepat sampai kampus, cukup naik
angkot satu kali lagi ke arah Depok. Tetapi aku tetap menunggu kereta jurusan
Bogor tiba. Memang, aku hanya turun tiga stasiun berikutnya, yaitu stasiun
Pondok Cina.
Sambil menunggu
kereta tiba, kubuka tas dan kuambil salah satu buku yang dihadiahkan oleh salah
seorang sahabat pada milad (ulang tahun-red)-ku Oktober lalu. Hampir pukul dua
belas kereta api jurusan Bogor baru tiba. Kulangkahkan kaki kananku masuk ke
dalam kereta. Setelah melihat sekeliling, tak ada tempat duduk kosong. Berdiri
pun tak apa. Lagipula alat transportasi rakyat murah meriah begini,
untung-untungan bisa dapat tempat duduk.
Tak jauh dari
tempatku berdiri, seorang anak laki-laki kecil penjual kue yang kutaksir
usianya baru enam tahunan menjajakan dagangannya. Satu hal yang membuatnya
berbeda dengan pedagang lainnya di kereta yang aku tumpangi, adalah caranya
menawarkan kue dagangannya. Saat ia menghampiriku, dia menawarkan dagangannya kepadaku
sama seperti yang ditawarkannya kepada penumpang kereta lainnya.
"Kakak, apakah
Kakak mau membeli kue? Hanya lima ratus rupiah saja, Kak," tawarnya.
"Nggak Dik,
makasih, " jawabku.
"Baiklah.
Permisi Kak." tanpa berlama-lama, anak itu segera meninggalkanku dan
kembali menawarkan dagangannya kepada penumpang kereta yang lain dengan
pertanyaan yang sama.
Dalam hati aku
bergumam, hari gini masih ada jajanan harga lima ratus? Modalnya berapa? Aku
terus memperhatikan anak laki-laki kecil itu. Sejurus kemudian, anak itu
kembali menghampiri salah seorang penumpang kereta yang telah ditawari kue
jualannya barusan.
"Mungkin untuk
bekal di tempat kerja, Kak?" tanyanya kembali dengan penuh harap yang
ditawarinya barusan bersedia membeli kue dagangannya itu. Kembali si penumpang
tersebut menolak tawaran anak penjual kue dengan sama ramahnya. Anak itu pun
meninggalkan gerbong kereta tempat aku berdiri dan ia menuju ke gerbong
sebelah. Untuk menjajakan kue jualannya tentunya.
Segenap rasa sesal
memasuki hatiku saat melihat bocah penjual kue itu berjalan menuju gerbong
sebelah. Jadi kasihan aku terhadapnya. Kenapa pula tidak kubeli kue jualannya?
Cuma lima ratusan dan penumpang satu gerbong tidak ada yang mau membeli kue
jualannya. Padahal masih ada dua lembar ribuan di saku kemejaku, tapi urung
kukeluarkan untuk membeli kue itu. Ah, penyesalan memang selalu datang
belakangan.
Baru saja anak laki-laki penjual kue itu hendak masuk ke
gerbong sebelah, seorang pria setengah baya memanggilnya. Pikirku, mungkin pria
tersebut berniat membeli kue anak tadi. Segera anak penjual kue itu berbalik
setelah dipanggil oleh pria yang duduk tidak jauh dari tempatku berdiri.
"Ini untuk adik,
" katanya sambil memasukkan (sedikit memaksa) selembar uang sepuluh ribuan
ke dalam saku anak penjual kue tadi. Tanpa sempat bicara, bahkan mengucapkan
terima kasih pun belum, si anak sudah diminta untuk segera melanjutkan
aktivitas menjual kue-kuenya. Anak tersebut hanya tersenyum diam dan
melanjutkan berjalan ke gerbong sebelah.
Yang mengherankan, justru sebelum ia masuk ke gerbong
sebelah, anak penjual kue tersebut memberikan uang yang diterimanya barusan
kepada sepasang pengemis buta (yang menurut dugaanku mereka suami-isteri) yang
berada di gerbong yang kami tumpangi. Aku masih saja terus memperhatikan bocah
kecil itu. Bahkan kuperhatikan, pria setengah baya yang barusan memberikan uang
tersebut juga memperhatikannya.
Dan benarlah
dugaanku, pria tersebut memanggil bocah penjual kue tadi dan menanyakan kenapa
uangnya diberikan kepada pengemis buta. Anak itu hanya menjawab,
"Emak saya
bilang saya tidak boleh mengemis. Saya hanya boleh menerima uang kalau ada yang
membeli kue dagangannya," jelasnya dengan bahasa Indonesia yang begitu
baik dan benar.
Deg! Tergetar hati ini mendengar jawaban bocah penjual kue
itu.
"Tapi saya
ngasih uang emang buat kamu, sedekah," lanjut pria setengah baya kemudian.
"Uang sedekah
juga sama saja dengan saya mengemis. Emak bilang saya harus jualan kalau mau
mendapat uang, bukan mengemis," jawab bocah penjual kue itu membuat
desiran dalam hatiku semakin menjadi.
"Emang kalo saya
beli kue kamu semuanya berapa?" tanya pria setengah baya itu setelah
beberapa saat terdiam.
"Dua puluh ribu
rupiah, Pak, " jawab si bocah singkat.
Tak lama kemudian,
pria setengah baya itu mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan dari
dompetnya yang ia serahkan kepada bocah penjual kue yang masih tidak kuketahui
siapa namanya.
"Ini, saya beli semuanya ya?" pinta pria setengah
baya itu dan langsung si bocah dengan sigap membungkus semua kue dagangannya
lalu diberikannya kepada pria setengah baya yang masih mengulurkan selembar
uang dua puluh ribuan.
"Terima kasih,
Pak, semoga rezekinya berkah, " ujar si bocah penjual kue itu sambil menerima
uang dua puluh ribuan darinya dengan penuh senyum. Ah, doa yang menyejukkan,
batinku.
Tak terasa kereta
sudah sampai di Stasiun Pondok Cina. Banyak juga penumpang kereta yang turun.
Termasuk bocah penjual kue tadi. Tampak kesenangan meliputi wajahnya dengan
nampan kue yang telah kosong. Mungkin ia akan kembali pulang. Pastilah ibunya
merasakan kesenangan yang tak jauh berbeda dengan dirinya, pikirku.
Sepanjang perjalanan
menuju kampus tercinta, hati dan pikiranku masih saja tertuju pada bocah laki-laki
penjual kue di kereta tadi. Di tengah kesulitan hidup, seorang anak kecil
dengan sebegitu konsistennya tetap teguh menjaga harga dirinya dari
meminta-minta kepada orang lain. Dia yakin bahwa dengan berusaha, segala
sesuatu pasti ada jalan keluarnya. Bukan dengan berpangku tangan, mengemis,
memohon belas kasihan orang lain, karena kita memang hanya boleh memohon belas
kasih padaNya.
Seorang bocah yang
usianya mungkin hanya terpaut satu tahun lebih tua dari keponakanku di rumah,
sudah harus turut merasakan pahitnya kesulitan hidup. Terlintas dalam pikiranku
seandainya yang menjadi bocah tadi adalah keponakanku. Ah, tak tega aku. Bahkan
untuk membayangkannya saja. Keteguhan hatinya yang tidak menjadikan tubuh
kecilnya sebagai alat mengundang rasa kasihan orang lain patut kuacungi jempol.
Ia tahu bahwa semua rezeki sudah diatur secara adil oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Tak ada satu pun makhluk kecuali sudah ditetapkan rezekinya. Tugas kita adalah
menjemput dan mencari berkah dari karunia Tuhan tersebut.
Bila ingat diri ini
yang mudah mengeluh dan merasa lemah, tentu aku tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan bocah penjual kue tadi. Seharusnya aku bersyukur, rasa
lelah yang kurasakan karena harus mencari penghasilan tambahan untuk biaya
kuliah dengan mengajar dan berjualan kue juga pastilah tidak selelah bocah
kecil tadi. Bersyukur, karena aku masih bisa kuliah, di saat banyak orang
lainnya yang putus sekolah.
Terima kasih ya
Tuhan. Rasa syukur tak terhingga terus kulafalkan atas hikmah yang kudapat hari
itu. Waktu yang lebih lama kubutuhkan untuk menunggu kereta ternyata tak
sebanding dengan pelajaran berharga yang disampaikan olehNya melalui kehadiran
bocah kecil penjual kue di kereta tadi. Mungkin keadaannya akan berbeda bila
aku tidak naik kereta ke kampus hari itu.
_____
Sumber: Anonim. Saya berusaha melacaknya di google, tapi banyak sekali. Dan tidak tahu siapa yang pertama kali mempostingnya. Sepertinya dari eramuslim.Sengaja tanpa saya edit. Tidak sempat. Maafkan. Dan sepertinya dengan bahasa aslinya sudah bagus.
Ngomong-ngomong, kita mau mengeluh tentang apa hari ini? Lagi?
_____
Sumber: Anonim. Saya berusaha melacaknya di google, tapi banyak sekali. Dan tidak tahu siapa yang pertama kali mempostingnya. Sepertinya dari eramuslim.Sengaja tanpa saya edit. Tidak sempat. Maafkan. Dan sepertinya dengan bahasa aslinya sudah bagus.
Ngomong-ngomong, kita mau mengeluh tentang apa hari ini? Lagi?
Categories:
SHINE ON
*narik nafas dalem*
Allhamdulillah keil2 sudah mengerti ya. btw memang kuliah dimana kok turunnya di st pondok cina? kalau gak UI , gundar ya hehehe
hehehe stop mengeluh dong ^__^
wah blajar untk brhenti mngeluh (y)