Kita pernah menyewa satu kamar kos untuk tempat tinggal kita berdua. Kalau tidak salah, sebulan sebelum menikah, kita mencarinya. Berdua naik motor butut keliling kota Yogyakarta. Dan setelah menikah, kita langsung boyongan ke sana. Tanpa bulan madu, dengan acara pernikahan yang sederhana (itu pun dengan bantuan orangtua dan saudara kita), dengan uang secukupnya yang kita punya.

Kamu terpaksa mengundurkan diri dari tempatmu bekerja dengan gaji yang lumayan tinggi untuk ikut bersamaku. "Ke manapun suami pergi, seharusnya istri selalu mengikuti," itu katamu. Aku tidak pernah bisa cukup berterima kasih untuk itu sampai sekarang, mungkin juga sampai masa depan.


Kita pernah kebingungan karena gajiku sudah habis duluan, padahal itu belum akhir bulan. Itu pelajaran berharga, agar kita mulai berhati-hati menggunakan uang kita. Untunglah dengan menurunkan kadar malu sampai seturun-turunnya, kita mencari pinjaman sementara. Itu pun dicicil pembayarannya karena takut kalau langsung dibayar lunas setelah gajian, hasilnya sama saja, kita akan berutang kembali di menjelang akhir bulan, karena gajinya sudah digunakan untung membayar utang. Syurkurlah, ada temanmu yang berbaik hati meminjaminya. Lebih malah. Tapi kita berdua sudah sepakat hanya meminjam sesuai keperluan. Lagi-lagi, takut tidak sanggup membayarnya, dan eman-eman pertemanan kamu dengan dia jadi rusak karenanya.

Kita pernah, makan dengan lauk tahu tempe. Aku baru menyadari beberapa bulan lalu ketika kamu tiba-tiba bertanya, "Ingat gak, Yah (kamu selalu memanggilku dengan sebutan 'Ayah' setelah kita punya anak), kita dulu pernah sekitar setahun hanya makan dengan lauk tahu atau tempe bergantian? Nyaris setiap hari. Kalau beruntung bisa makan telur?"

Aku terbengong. Aku merasa sepertinya tidak pernah. Kita memang sekitar setahun setelah nikah mengalami kesulitan keuangan karena perusahaan tempatku bekerja juga sedang kesulitan sehingga atas kesepakatan bersama, agar tidak ada pemecatan, semua gaji karyawan dikurangi 15% sampai 25%. Menyakitkan memang. Banyak yang kemudian mengundurkan diri setelah mendapat kerjaan. Aku pun niatnya demikian. Dan tepatnya, 11 bulan 20 hari setelah pengurangan gaji itu, aku baru mendapat pekerjaan baru yang lebih baik.

Lalu kamu melanjutkan bahwa sebenarnya, memang pada masa pengurangan gaji itu, kamu selalu memasak dengan menu tempe dan tahu. Sayurnya saja yang bergantian. Kadang sayur bening, sayur asem, oseng, dan lain-lain. Tempe tahunya juga kamu olah berbeda, digoreng biasa, dioseng, dibalado, dibuat sop, dan lain sebagainya. Pada intinya, hampir setahun itu kamu berhemat habis-habisan. Kadang seminggu atau dua minggu sekali kamu masak menu telur atau cakar ayam. Sebagai bonus, katamu, agar aku tidak bosan. Itu pun, memasaknya pagi-pagi sekali agar tidak berebutan dapur dengan penghuni kos lain.

Aku benar-benar lupa. Seberapa keras pun aku berusaha mengingatnya, tetap tidak bisa.

Lalu kamu bercerita, setelah subuh, kamu selalu berdoa agar apa pun yang kamu masak hari itu, rasanya enak, seenak daging atau ayam. Dan aku, suamimu ini, agar menyukai masakanmu tanpa menanyakan dan merasa bahwa bahan yang dimasak hanya itu-itu saja. Kadang kamu memasak sambil meneteskan air mata, ingin memasak yang lebih enak karena pasti aku capek sepulang kerja, dan berangkatnya pasti butuh energi. Seharusnya daging yang paling baik. Maka di sela-sela doa, kamu juga menyelipkan agar masakanmu itu memberi energi yang cukup untukku bekerja seharian.*

Aku memelukmu setelah kamu menceritakannya. Aku benar-benar tidak tahu dan tidak sadar pernah mengalami kekurangan seperti itu, mungkin karena doamu. Ya, pasti karena doamu.

Tetapi aku juga ingat sesuatu, kamu dulu sering belanja baju pada saat kamu masih kerja. Atau sepatu. Bukan seseorang yang gila belanja tentu saja. Tetapi setidaknya sebulan sekali, kamu belanja tas, baju, atau sepatu. Penunjang pekerjaan, katamu. Dan setelah menikah denganku, kamu sama sekali tidak pernah melakukannya lagi. Sering, di malam hari, aku mengatakan maaf karena kamu jadi tidak bisa lagi membeli barang yang kamu sukai. Kamu hanya menjawab, 'Tidak apa. Semua yang kubeli dulu masih cukup. Lebih dari cukup'.

Baru dua tahun kemudian aku bisa membelikanmu baju. Kejutan. Meski ragu-ragu karena tidak tahu ukuranmu (terpaksa aku mencari pramuniaga yang kira-kira badannya seukuranmu). Itu pun tidak mahal. Sekadarnya. Dan kamu sangat menyukainya. Sampai matamu berbinar-binar dan mematut diri di cermin berulang-ulang. Kamu juga menciumi dan memelukku sambil berulang kali mengatakan terima kasih. Saking senangnya melihatmu seperti itu, aku sampai hampir meneteskan air mata. Hampir, karena aku tahan dengan segera. Akhirnya, aku bisa membelikanmu baju.

"Kamu suka?" tanyaku.

"Suka? Aku sukaaaaaaa sekali," jawabmu sambil lagi-lagi memelukku dan mengatakan terima kasih.

Lalu aku tersenyum, pura-pura mau ke kamar mandi agar kalau sampai aku meneteskan air mata, kamu tidak melihatnya. Meski begitu, aku dan ego kelelakianku, tetap bisa menahannya. Aku ingat hari itu, sebelum tidur pun, kamu berulang kali menciumku, dan akhirnya tidur sambil memelukku.

Aku juga ingat, kamu pernah tiga hari kurang tidur. Aku demam tinggi pada waktu itu. Kita hanya berobat ke puskesmas dan dirawat di rumah. Wal;aupun banyak orang menyarankan agar dirawat inap, aku bersikeras untuk dibawa pulang. Kita tidak punya tabungan untuk membayar biaya rawat inap. Sesuatu yang kemudian aku baru sadari, uang memang bukan segalanya, tetapi uang juga penting jika kita memerlukannya tiba-tiba.

Kamu mengompresku, memandikanku, berjalan ke pasar sendirian untuk mencari makanan karena kamu tidak bisa naik motor, dan lain sebagainya. Aku benar-benar merasa dijaga dan dirawat sepenuhnya olehmu waktu itu. Untunglah, berangsur-angsur demamku turun, dan di hari keempat aku sudah bisa memaksakan diri kembali bekerja. Mungkin kamu membeli jamu, atau lagi-lagi karena doamu. Ya, pasti karena doamu.

Lalu kehidupan kita membaik setelah aku mendapat pekerjaan baru. Kamu pun akhirnya hamil juga. Mungkin Tuhan memang merencanakan kita diberi momongan setelah kita mampu dulu. Mungkin. Dua bulan menjelang kehamilan anak kita, jabatanku bahkan dinaikkan karena enam bulan berturut-turut, targetku tercapai tanpa kendala. Akhirnya, kita bisa mengontrak rumah kecil untuk kita bertiga, aku, kamu, dan dedek kecil kita, Rara.

Sekarang, delapan tahun sudah berlalu. Syukurlah kita sudah punya rumah dan mobil sendiri meski masih menyicil dan tidak mahal. Anak kita juga sudah bertambah satu, dua tahun setelah Rara lahir. Nantinya, sebagai lelaki, semoga Saka bisa melindungi kakaknya.

Tadi, aku baru pulang makan malam dengan seorang perempuan. Cantik. Masih muda. Entah ini pertemuan ke berapa antara aku dan dia. Dia adalah klien tempatku bekerja. Karena banyak deal-deal kerja sama, akhirnya juga sering bertemu muka (kalau tidak bisa dibilang terlalu sering). Dia punya usaha sendiri meski tidak terlalu besar, tapi omsetnya lumayan. Muda, kaya, putih, modis, cantik, dan berkepribadian menyenangkan. Tipe perempuan yang selalu aku idamkan.

Aku juga menyadari beberapa bulan lalu, kalau aku mulai tertarik dengannya. Bukan ketertarikan biasa. Ketertarikan seperti waktu aku dan kamu masih muda, lalu kita jatuh cinta. Dan dia pun sepertinya merasakan hal yang sama. Karena kadang, dia memanggilku sayang, kadang kami berjalan dengan bergandengan tangan. Semuanya menyenangkan.

Dia lebih cantik, lebih menarik, lebih muda, dan lebih humoris daripada kamu. Aku nyaman berlama-lama dengannya, begitu juga dia nyaman berlama-lama denganku. Dia sering membuatku tertawa, dia juga selalu membuatku bangga jika sedang makan siang atau malam bersamanya karena seringnya orang melihat kepadanya karena daya tariknya.

Lalu tadi, ada seorang lelaki tua mengenakan kursi roda masuk ke restoran tempat aku dan dia makan. Di belakangnya, seorang perempuan yang juga tak kalah tuanya mendorong kursi roda itu. Mereka tersenyum ketika disambut pelayan, dan ketika mau dibantu mendorong kursi rodanya, perempuan tua itu menolak. Aku mendengar dia berkata, "Tidak apa, biar saya saja. Saya bahagia seperti ini."

Lalu ada seorang lelaki datang, memeluk keduanya. Baru kemudian perempuan tua itu bersedia digantikan untuk mendorong kursi roda itu sambil menepuk bahu lelaki itu. Mungkin itu anaknya. Ya, pasti anaknya, karena lelaki tua itu juga sejenak menggenggam tangan lelaki itu ketika kursi roda itu mulai didorong. Lalu di seberang sana, ada empat anak kecil yang lucu-lucu, dengan seorang lelaki yang kemudian menyambut dan mencium tangan kedua orang tua itu. Tidak ketinggalan dua perempuan lain yang juga mencium kedua tangan mereka.

Tiba-tiba saja, aku ingat dari awal kita menikah sampai malam itu juga. Kita selalu bercerita, akan menua bersama. Entah siapa duluan yang berkursi roda, yang lebih sehat akan mendorongnya. Mungkin juga menikmati momen-momen hari libur panjang di mana cucu-cucu kita akan datang ke rumah untuk bermalam. Kita juga menikmati masa tua dengan berlama-lama ngobrol di teras atau di meja makan setelah aku membaca koran.

Itu yang selalu kita bayangkan.

Dan sekarang, setelah dulu kamu bersedia meninggalkan pekerjaanmu untuk tinggal bersamaku, yang rela tinggal hanya satu kamar dengan dapur digunakan bergantian, yang pernah kekurangan uang, yang berkali-kali mengurusiku ketika sakit, aku malah berpikir untuk berpaling.

Kamu pasti sedang meninabobokan kedua anak kita sekarang. Menungguku pulang lembur (alasan yang selalu aku berikan kalau sedang makan malam berdua dengan gadis itu) sambil terkantuk-kantuk. Aku selalu menyuruhmu untuk tidur duluan, tetapi kamu tidak mau. Istri harus menyambut suami, katamu. Melepaskan baju, memasakkan air hangat jika perlu, membuatkan teh, atau memanaskan makanan. "Itu bukan tanggung jawab istri. Itu rasa syukur seorang istri," katamu.

Entah kenapa, aku baru menyadarinya hari ini atas semua yang kamu lakukan ketika aku pulang. Aku tidak akan pergi-pergi lagi. Aku akan tetap bersamamu di sini.

"Tunggu aku pulang, sayang. Seperti yang dulu selalu kamu bilang ketika aku meminta maaf kalau kamu tinggal di kamar kos kecil untuk tempat tinggal, 'Tidak masalah di mananya. Kalau kamu suamiku, entah berada di rumah petak atau rumah mewah, di kota atau di gunung tertinggi sana, itu tetaplah bukan rumahku yang sebenarnya. Rumahku adalah kamu. Kamulah yang selalu akan menjadi tempat kepulanganku'. Ini aku pulang. Dan berjanji untuk menua bersama (jika Tuhan mengizinkan) sampai masa depan."





________
* Ini (pada bagian hanya memasak tahu dan tempe) adalah kisah nyata yang pernah terjadi pada seorang teman, di mana orangtuanya pernah hanya memasak tahu tempe dalam waktu lama, tanpa anaknya menyadarinya. Waktu itu keluarga sedang mengalami masa kesulitan keuangan yang belum pernah dialami sebelumnya. Anaknya baru tahu setelah dia dewasa dan sang Ibu menceritakannya.







Categories:

19 Responses so far.

  1. Pengen punya istri kek gitu juga:)

  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
  3. Bagus sekali. Again, beling hampir pecah mengalir turun dari mata menuruni pipi :) As always, you are great :)

  4. Unknown says:

    hal semacam ini yang menjadi salah satu pertanyaan saya kak. ketika wanita sudah begitu setianya, kenapa laki-laki begitu mudah berfikir untuk berpaling? kebanyakan mereka menyadari ketika sudah merasakan sebuah kehilangan. :') tapi apapun itu, tulisan ini bagus banget :)

  5. Septi Ika says:

    aaak lama ngga main kesini, cerita buatan mas Ara masih semenakjubkan dulu :')

  6. meski fiksi tapi jika dibaca tulisan ini terasa sangat tulus, terima kasih mas ara sudah mau membagi kisah yang menginspirasi :)

  7. Unknown says:

    Wanita spt itu hanya ada di dongeng

  8. Sudah lama tidak main kesini, tapi tetap dibuat terpana dengan tulisan kak Ara :"

  9. istriku juga kayak gitu
    ga penting hidup di mana, asal hidupnya bareng sama aku :D

  10. Enny Law says:

    semua ceweknya pengennya gitu
    tapi faktanya? :D
    jawab sendiri lah

  11. Enny Law says:

    semua ceweknya pengennya gitu
    tapi faktanya? :D
    jawab sendiri lah

  12. Unknown says:

    kita akan punya suami, atau istri seperti dalam cerita nyata yang sangat memberi pelajaran ini,tapi tak banyak orang yang menyadarinya. Kita akan mendapatkannya. kalau kita mau berubah menjadi seperti apa yang kita inginkan.
    That's true mas Ara, ini bisa mnjadi pelajaran bagi mereka atau kita yang tak pernah bisa bersyukur atas apa yg saat ini kita dapatkan :)

  13. perempuan yang sekarang di masa mudanya sudah mapan dan mandiri bisa belajar dari sini:D

  14. Jaman sekarang mana ada ...bisa dibilang 1:1000..haiyaaa...